Hari-hari berlalu dengan begitu cepat, bulan terus berganti, dan musim terus berubah mengikuti irama waktu yang tak bisa dihentikan. Meski mereka sempat merasakan kebahagiaan yang singkat, kebahagiaan itu dibayangi oleh perang yang tak kunjung usai. Jeffryson dan Rosanné jarang menemukan waktu untuk bersantai. Setiap hari selalu ada tantangan baru yang menguji kekuatan mereka, baik sebagai individu maupun sebagai pasangan.
Perang tetap menjadi realitas yang tak terelakkan. Bahkan saat mereka berada di saat-saat tenang, ada ketidakpastian yang terus mengintai, seolah-olah ancaman itu bisa muncul kapan saja, merenggut setiap momen kebahagiaan yang mereka miliki. Dalam keheningan malam, Rosanné sering kali terjaga, merasakan detak jantung Jeffryson di sisinya, seakan itu adalah satu-satunya tanda kehidupan di tengah dunia yang hancur.
Bulan Februari berakhir dengan kekacauan perang kapal selam tak terbatas yang dilancarkan oleh Jerman, dan ketika Maret tiba, dunia terkejut dengan berita revolusi di Rusia yang mengakhiri kekuasaan Tsar Nicholas II. Ketidakpastian dunia semakin bertambah ketika pada 6 April 1917, Amerika Serikat secara resmi menyatakan perang terhadap Jerman, sebuah keputusan yang menambah beban pikiran Jeffryson.
Pertempuran Arras yang dimulai setelah itu mengubah segalanya. Sekutu melancarkan serangan besar-besaran di front Barat, memaksa Jerman untuk mundur dan meninggalkan posisi strategis mereka. Pertempuran ini adalah awal dari rangkaian kekalahan yang membuat Jeffryson semakin tertekan.
Jeffryson sering teringat pada kata-kata John, yang memperingatkannya tentang larangan jatuh cinta di masa perang dan sekarang Jeffryson merasakannya secara langsung. Pernikahannya dengan Rosanné, yang seharusnya menjadi pelarian dari kekejaman dunia, kini terasa seperti bayangan suram dari apa yang bisa menjadi kehidupan yang damai.
Tak ada malam-malam romantis yang bisa diceritakan. Tidak ada momen indah di taman bunga dengan aroma mawar yang memenuhi udara, atau malam yang tenang di mana mereka bisa menikmati kebersamaan. Sebaliknya, mereka harus terus berjalan kembali ke garis depan, dengan suara dentuman senjata dan bau mesiu yang menyengat menyertai setiap langkah mereka.
Ketika pertempuran Arras berakhir, pertempuran Messines dimulai. Sekutu meledakkan tambang besar di bawah posisi Jerman, menghancurkan harapan yang tersisa di dalam hati Jeffryson. Pertempuran demi pertempuran membawa kerugian besar bagi Jerman, dan Jeffryson merasa kewalahan dengan situasi yang semakin memburuk.
Hingga tiba di bulan November, di tengah kekacauan ini, Jeffryson merasa perlu untuk mengambil tindakan drastis. Dalam sebuah pertemuan dengan para jenderal, dia mengusulkan gagasan yang belum pernah diusulkan sebelumnya,
"Mari kita rundingkan mengenai gencatan senjata. Kita harus membuat misi damai sebelum kita kehabisan pasukan untuk berperang."
Suasana dalam pertemuan itu tegang, dengan banyak yang merasa pesimis dengan gagasan itu. Namun, Jeffryson yakin bahwa ini adalah satu-satunya jalan yang tersisa.
"Kita tidak bisa terus seperti ini," lanjutnya, suaranya penuh dengan keletihan. "Jika kita tidak segera mengambil langkah ini, kita mungkin tidak akan memiliki apa-apa lagi untuk dipertahankan."
Meskipun pertemuan itu berakhir tanpa keputusan yang pasti, gagasan tentang gencatan senjata mulai bergaung di benak setiap jenderal. Mereka tahu, di balik semua strategi dan taktik, ada kenyataan yang tak bisa diabaikan. Perang ini mungkin tidak bisa dimenangkan, dan waktu mereka semakin menipis.
Sementara itu di pertemuan lain, di markas besar militer Prancis di Paris, para petinggi militer berkumpul untuk membahas perkembangan terbaru. Revolusi di Rusia dan deklarasi perang dari Amerika Serikat menjadi topik utama, menambah kerumitan situasi yang sudah menegangkan. Jenderal Lefebvre, komandan tertinggi, menatap serius pada peta yang membentang di meja, menunjukkan garis-garis pertahanan Jerman yang mulai goyah.
KAMU SEDANG MEMBACA
GERMANY, 1917 (The Train Love and Fire)✔️
Ficción histórica"𝘔𝘢𝘳𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘦𝘮𝘶 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪 𝘥𝘪 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘯𝘫𝘶𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘣𝘪𝘢𝘴𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵" Ditengah kengerian Perang Dunia 1 Rosanne seo...