Di pagi yang dingin di Mayenne, Rosanné duduk terjaga di ruangannya. Tidak, ia tidak tidur semalam suntuk. Bayang-bayang Jeffryson terus menghantuinya, seolah-olah ia masih ada di sana, menunggu di balik pintu. Kadang-kadang, ia berharap Jeffryson akan muncul, seperti saat ia menyelamatkannya dari hukuman cambuk kala itu. Namun, pagi ini tidak ada yang datang. Jeffryson benar-benar telah pergi, meninggalkan Rosanné sendirian, terjebak dalam dunia yang kejam dan tidak adil.
Dengan pandangan kosong, Rosanné hanya menggenggam erat liontin moonstone yang tergantung di lehernya. Kantung matanya yang hitam dan bengkak mengisyaratkan malam-malam tanpa tidur, penuh dengan tangisan tanpa henti. Tubuhnya hilang semangat, seperti boneka yang rusak, tak ada lagi kehidupan di dalamnya. Bahkan bernapas terasa begitu menyakitkan, seolah setiap tarikan napas adalah beban yang tak tertahankan.
"Apakah kau masih di dalam kereta sana, Jeff?" bisiknya, suaranya serak dan lemah.
"Apakah badanmu sakit tertimpa besi kokoh itu? Apakah... apakah kau memanggilku dan aku tidak datang menemui panggilanmu?" Air matanya jatuh perlahan, satu demi satu, membasahi pipinya yang pucat.
"Jeff..." Rosanné melanjutkan, suaranya hampir tak terdengar, "Apakah begitu sakit rasanya? Badanmu... pasti tertimpa besi-besi itu..."
Rosanné terus bermonolog, suaranya tercekik oleh kesedihan yang mendalam. Air matanya mengalir, meski ia tahu mungkin sebentar lagi akan mengering, seperti sisa-sisa harapannya.
Tiba-tiba, suara keras terdengar. BRAKK! Pintu ruangan itu terbuka dengan kasar. Rosanné dengan sigap menoleh, harapan menyala di matanya yang lelah. Mungkinkah itu Jeffryson yang datang untuk menyelamatkannya, sekali lagi? Namun, harapan itu segera pupus. Yang masuk adalah seorang pria paruh baya, petugas di sana, pria yang semalam ditemuinya.
"Kita berjumpa lagi, Miss Elizabeth," katanya, suaranya dingin dan penuh ejekan saat ia melangkah mendekat.
Dejavu. Semua ini begitu familiar bagi Rosanné. Ia mengingat kejadian yang sama persis saat pria itu masuk, mendekatinya dengan kertas laporan di tangan. Seperti nasibnya yang terus berulang, tanpa ada jalan keluar.
"Apakah... apakah sebentar lagi Jeffryson akan datang seperti sebelumnya, Tuan?" gumam Rosanné dengan nada putus asa.
Pria itu menggelengkan kepala dengan heran, sedikit senyum sinis tersungging di bibirnya. "Wanita gila," ujarnya dingin. "Oh, lihatlah, bahkan dengan tidak tahu malunya kau datang kemari dengan seragam dari negara musuh," tambahnya dengan tawa kecil yang sumbang.
Rosanné menunduk, melihat seragam yang dikenakannya. Seragam perawat Jerman yang penuh dengan noda debu dari kecelakaan kemarin. Seragam itu terasa asing, namun begitu akrab, seolah-olah itu adalah bagian dari dirinya yang tak bisa ia lepaskan.
"Sepertinya kau sangat percaya diri dengan seragam itu, nona." Pria itu menatapnya dengan tatapan mengejek.
Tidak, pikir Rosanné. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi jika ia tetap mengenakan seragam perawat Prancis di Jerman. Tapi semua penjelasan akan sia-sia. Pria itu tidak akan peduli sama seperti sebelumnya, dan Rosanné sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk membela diri. Ia terlalu lelah, terlalu hancur.
"Bersiaplah! Hari ini juga kau akan mendapat hukumanmu," perintah pria itu, suaranya dingin dan tak berperasaan. Ia melipat kedua tangannya di dada, menatap Rosanné dengan tatapan tajam, seolah-olah ia adalah sebuah objek, bukan manusia.
Pria itu mulai berputar mengelilingi Rosanné yang duduk di kursi kayu tunggal. "Biar aku ingatkan lagi apa saja pelanggaranmu. Kabur ke Jerman saat bertugas, menyerahkan persediaan obat-obatan milik negara pada Jerman, kabur saat menjalani hukuman, berkhianat pada negara dengan menjadi bagian dari Jerman!" Suaranya lantang dan tegas, menusuk hati Rosanné seperti belati.
KAMU SEDANG MEMBACA
GERMANY, 1917 (The Train Love and Fire)✔️
Ficción histórica"𝘔𝘢𝘳𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘦𝘮𝘶 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪 𝘥𝘪 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘯𝘫𝘶𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘣𝘪𝘢𝘴𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵" Ditengah kengerian Perang Dunia 1 Rosanne seo...