[20] - Sisa Rasa

127 16 6
                                    

tolong baca note ya!











♡- BARRA GENTLE -♡





Sisa rasa kepada seseorang yang pernah dicintai begitu dalam memang benar eksistensinya. Seandainya orang itu sangat berharga, apakah rasa tersebut pantas untuk kita sebut sebagai sisa?

Perasaan Barra kepada Amora ini masih bersisa atau bahkan tak berkurang sedikit pun, ia tak yakin. Pria itu terhenyak dalam hati. Rahangnya mengeras kala tangisan Amora semakin tersedu-sedu. 

Perempuannya, pujaan hatinyaㅡyang sempat mengisi hari-harinyaㅡberada tepat di depan matanya yang hanya berjarak beberapa senti saja. Ingin rasanya Barra mendekat barang satu senti untuk membubuhi satu kecupan singkat pada kelopak mata Amora. Menenangkan dan menyakinkan perempuan itu bahwa dirinya baik-baik saja. Pria itu terlampaui ingin. Teramat ingin. Ingin sekali merengkuh pinggang Amora yang akan berubah mungil bila masuk ke dalam dekapannya. Menyematkan kecupan demi kecupan di sekitar pelipis hingga rahang wanita itu dengan mesra.

Barra rindu. Rindu itu semua.

Tetapi tubuhnya keluh. Tangannya terasa kaku. Ia mati gaya kala Amora masih setia menelusuri seluruh wajahnya yang babak belur dengan jemari lentiknya.

Harum. Cantik. Manis. Amora menangis namun di pikiran Barra hanya terlintas tiga kata itu.

"Aku nggak apa, Mor. Ini tadi nggak sengaja kebentur kap mobil."

Tangisan Amora semakin deras, "nggak ada kebentur kap mobil kayak gini, Kak. Kamu habis berantem sama siapa?" Tanyanya sembari sesenggukan.

Amora masih setia menunduk selepas mengamati seluruh kondisi Barra. Ia tak sanggup lagi menatap mantan prianya. Perempuan itu nyaris melarikan tangannya ke arah Barra dan memeluk pria itu erat. Namun Amora masih sangat waras.

Amora kontan menyeka air matanya kasar dengan kedua punggung tangannya. Ia bingung. Sebenarnya ia menangisi pria itu karena wajahnya yang babak belur atau karena rasa rindu yang teramat sangat?

"Aku nggak tau bilang kayak gini di matamu jadi kayak gimana. Tapi aku kangen banget sama kamu, Kak. Kangen banget. Sampe rasanya aku pengen ketemu kamu sekali aja dengan kondisimu yang baik-baik aja. Tapi ini apa? Kamu muncul di depanku kayak gini bentukannya. Aku khawatir."

Telak. Barra tak sanggup menahannya. Lantas ia tarik Amora dengan lengan kanannya. Ia hantamkan tubuh perempuan itu menabrak dada bidangnya. Memeluknya erat sembari menepuk-nepuk punggungnya.

"Aku nggak apa beneran, Mor. Nggak usah khawatir."

Lagi-lagi hanya dijawab dengan kalimat yang sama. Ingin rasanya Amora menangis kembali di dekapan Barra. Sangat menyakitkan. Bagaimana tidak, Barra terus menerus mengulang jawaban yang sama, yang mau tak mau membuat Amora berpikir bahwa Barra memang tak mau dipedulikan oleh dirinya lagi. Dan ia tak seharusnya mengkhawatirkan pria itu. Sebab, sudah jelas Shanon yang dinanti Barra akan rasa khawatirnya.

Penyakitnya Amora itu satu, overthinking.

Amora pun dengan segera menarik diri dari dekapan Barra. Menyeka sudut air matanya lantas tersenyum kecut. Ia benar-benar tertampar fakta yang diciptakan oleh pikirannya sendiri.

"Maaf. Aku emang nggak berhak khawatirin kamu lagi, Kak. Sorry." Ujar Amora sembari mengambil tasnya yang berada di atas meja. Mengemas barangnya beberapa sebelum berbalik meninggalkan Barra.

Amora tak marah. Ia hanya kecewa, sangat. Ia bahkan tak akan menyadari itu jika saja Barra tak mengulang-ulang jawabannya.

Barra hanya mampu memandang punggung Amora yang semakin menjauh. Langkah kakinya beku, tak sanggup mengejar Amora yang semakin kabur dari pandangannya. Barra mengusap wajahnya kasar. Tangannya mengepal lantas menonjok dinding di sampingnya dengan pelan.


BARRA GENTLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang