Jangan lupa vote komen ❤️
Happy reading~***
Di dalam gedung kasino para prajurit berkumpul memisahkan diri dari para warga dan juga dua sandera mereka yang merupakan anak buah Alfian.
Anggi terlihat sedang menjelaskan semua yang terjadi beberapa saat yang lalu. Dia bilang tiga laki-laki misterius itu tidak bersalah, karena dia sendiri yang menyuruh tiga laki-laki misterius itu untuk tidak menyelamatkan dirinya dan juga Puspa saat tertangkap.
Semalam, saat Anggi dan Puspa sedang menunggu tiga laki-laki misterius yang sedang mengobati luka mereka. Keduanya di kejutkan dengan kehadiran gerombolan orang yang datang dengan menggunakan mobil Van.
Anggi tidak bisa melawannya, dia bahkan tidak bisa menyelamatkan lima warga yang ditangkapnya. Lima warga yang menyerangnya ditembak mati oleh gerombolan orang tak dikenal itu. Pistolnya dan pistol Puspa juga diambil dengan paksa.
Saat tiga laki-laki misterius itu datang untuk menyelamatkan, Anggi menyuruh mereka untuk pergi saja. Ada alasannya kenapa Anggi menyuruh mereka pergi dan Anggi harap, tiga laki-laki misterius itu paham dengan alasannya. Alasannya yaitu agar suatu saat mereka menjadi penolong para prajurit saat mereka dalam bahaya.
Saat dalam perjalanan pun mereka mendapat pelecehan secara verbal, dan lebih parahnya, Puspa juga mendapat pelecehan non verbal.
Plak!
"Aw!" jerit Vano.
Anggi menepis tangan Vano, karena menyentuh lehernya. "Anda sangat kurang ajar!"
Vano mendelik. "Saya ingin mengobati luka Anda. Leher Anda berdarah," ucapnya.
"Saya bisa mengobatinya sen—" Ucapan Anggi terhenti saat melihat Puspa masih terdiam menunduk, niatnya dia ingin meminta tolong pada Puspa. Agen itu menghela nafasnya kasar, dia tahu sekali perasaan Puspa. Puspa lebih banyak mendapat perlakuan buruk dari pada dirinya.
"Sebaiknya kita berikan mereka berdua waktu." Vano menyadari apa yang disadari Anggi, begitu juga yang lain.
Anggi menoleh saat ada tangan yang mengulur ke arahnya. Itu tangan Vano, tapi Anggi mengabaikannya lalu segera berdiri, yang membuat raut wajah Vano terlihat kecewa.
Anggi, Vano, dan yang lainnya segera pergi. Mereka akan memberikan ruang dan waktu untuk Galih dan Puspa. Mereka tahu, Galih cukup canggung untuk memberikan kata-kata penenang untuk Puspa.
"Yellow Fox." Galih menoleh saat Adam memanggil. "Tetap berjaga," tutur Adam kemudian pergi meninggalkan Galih dan Puspa.
***
Setelah kepergian teman-temannya, Galih menghela nafasnya pelan. Dengan ragu, tangannya menepuk bahu Puspa lalu mengelusnya.
"Sekarang kamu boleh nangis," bisiknya yang membuat wanita di sampingnya menoleh.
Galih tersenyum saat melihat mata indah wanita di sampingnya berkaca-kaca. Dia tidak ingin melihat air mata itu membasahi pipi bulat dokter militer yang sepertinya sudah membuatnya jatuh hati. Namun, dia juga tidak mau menyiksa perasaan Puspa yang sepertinya sangat sesak dan gundah.
Bibir prajurit itu tersenyum saat bibir wanita di sampingnya melengkung ke bawah, dengan cepat dia menarik tubuh kecil Puspa lalu merengkuhnya.
"Maaf, ya," bisik Galih. "Jangan khawatir, Cuma aku yang bisa denger kamu nangis sekarang," lanjutnya.
"Luapin semuanya." Galih berbicara sangat lembut sembari mengelus bahu dan rambut Puspa yang sudah sedikit kusut. Perlahan, terdengar isak tangis Puspa yang sepertinya benar-benar hanya Galih yang mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Next Mission (Prajurit Mata Elang 2)
Fanfiction[SUDAH TERBIT. CHAPTER MASIH LENGKAP]. Bagaimana pun juga Prajurit Mata Elang tetaplah 7. Raganya memang terpisah tapi jiwanya masih ada di Prajurit Mata Elang. Tujuh tahun yang lalu bukanlah sebuah kisah sedih, itu adalah sebuah kisah perjuangan da...