(24) Seperti Takdir

7.1K 1.3K 595
                                    

Jangan lupa vote komen 💞
Happy reading~

***

"Jadi, tiga Prajurit Mata Elang masih hidup?" Rania menatap Jenderal dengan tatapan penuh dengan harap. Dia berharap menerima jawaban yang dia inginkan, tapi sepertinya dia tetap tidak menerima sebuah penjelasan karena ajudan Jenderal Jordan kembali masuk ke ruangan.

"Jenderal—" Ucapan Latief terhenti saat melihat keberadaan Letnan Rania.

"Letnan Rania, jika mereka masih hidup. Mereka akan kembali bersama empat Prajurit Mata Elang." Jenderal Jordan bersuara. "Keluarlah," titahnya.

"Jadi—"

"Letnan Rania, apa kamu tidak mendengarkan perintah?!" Jenderal Jordan meninggikan nada bicaranya.

Rania mengangguk, kemudian berdiri. Dia melakukan hormat sebentar lalu segera keluar.

Di depan pintu dia kembali menatap kertas di tangannya. Bibirnya tersenyum tipis. Kalian menghilang, dihilangkan, sembunyi, atau disembunyikan? batinnya. Rania menghela nafas pelan kemudian segera berjalan meninggalkan ruangan Jenderal Jordan.

***

Sedangkan disisi lain, para prajurit hanya bisa terdiam saat mengetahui kalau Vano tertangkap. Hening, tidak ada yang bersuara. Hanya ada angin yang menyapu alang-alang dan dedaunan yang mulai menguning.

Mereka sedang duduk di tengah-tengah rumput alang-alang yang mengering. Mereka sedang berpikir bagaimana caranya masuk ke dalam markas sole, sedangkan Vano saja sudah tertangkap. Mereka yakin kalau Alfian dan para anak buahnya tidak akan berani melakukan apa pun pada Vano. Namun, itu hanya dugaan saja. Bagaimana jika sebaliknya?

Fahmi menghela nafasnya dengan kasar. "Kali ini aku yang akan masuk," tuturnya yang membuat semua orang menatapnya.

"Kita pastikan dulu keadaannya. Dia bahkan belum memberikan informasi lagi," sahut Adam.

"Memastikan keadaannya?!" Fahmi berdiri lalu menatap Adam. "Kamu akan tetap diam sampai Dolphin memberi informasi? Bagaimana kalau earphone yang dia gunakan sudah di buang atau jatuh?!" ujarnya lagi.

"Atau bahkan," Fahmi tidak dapat melanjutkan ucapannya lagi. Dia bahkan tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada sahabat yang sudah seperti adik laki-laki baginya. Pikiran buruk itu menghantui otak Fahmi. Dia hanya takut, dia takut terjadi sesuatu pada Vano. Bahkan di hatinya ada penyesalan, kenapa dia tidak pergi bersama Vano.

"Biar aku saja." Anggi tiba-tiba berdiri kemudian melangkahkan kakinya tanpa menunggu persetujuan dari yang lain.

"Kamu gila?!" Fahmi menahan tangan Anggi.

Anggi menoleh. "Aku sangat dekat dengan Alfian, aku akan bicara baik-baik dengannya," sahutnya dengan penuh percaya dirinya.

Anggi yakin sekali kalau Alfian akan mendengarkannya, karena selama ini mereka berdua sangat dekat. Bisa dibilang, Alfianlah orang pertama yang menerimanya, orang yang pertama sangat dekat dengannya.

"Itu Alfian warga Bulio, bukan pemimpin Sole!" sentak Fahmi yang membuat Anggi menatapnya dengan tajam lalu menghempaskan tangannya.

"Tapi dia dalam bahaya," sahut Anggi kemudian kembali melangkahkan kakinya.

"Kamu maju selangkah lagi, peluru ini akan bersarang di kepalamu."

Langkah Anggi terhenti saat Adam menodongkan pistol di tangannya, semua prajurit terkejut dengan tindakan Adam. Namun, sepertinya Adam tidak main-main dengan perkataannya. Prajurit yang memiliki luka di pipinya itu melangkahkan kakinya mendekati Anggi.

The Next Mission (Prajurit Mata Elang 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang