(35) War

5.2K 1K 308
                                    

Jangan lupa vote komen ♡
Happy reading~

***

Melihat Anggi dan Puspa sudah dalam terikat dan babak belur membuat para para prajurit meradang. Apa lagi mereka tidak melihat keberadaan Nadhira di sana, itu membuat para prajurit bertanya-tanya. Apa Nadhira disembunyikan? Atau terjadi sesuatu pada Nadhira?

Melihat keadaan Anggi dan Puspa yang kini wajahnya hampir penuh darah segar, sepertinya Nadhira tidak baik-baik saja. 

Meskipun penuh dengan kekhawatiran, Kafi mencoba profesional. Dia harus mengutamakan apa yang ada di depan matanya lebih dulu. Matanya menajam menatap Alfian yang sedang tertawa seperti iblis, bahkan iblis lebih baik dari Alfian. 

"Serang mereka!" seru Alfian lalu berlari kecil menuju tangga yang menuju ke lantai dua.

Dor!

Belum sampai di ujung tangga, Vano sudah menyerang Alfian, tapi meleset saat tubuh Alfian didorong anak buahnya. Vano memang berniat terus menyerang Alfian meski dia juga terus di serang oleh anak buah Alfian. Dia sangat tidak rela melihat Anggi penuh dengan luka. Bahkan di dalam hatinya, Vano bersumpah akan membunuh Alfian. 

Dor!

Vano berguling saat Alfian menembakkan peluru ke arahnya. Namun, dengan cepat dia kembali menyerang Alfian yang sedang mencoba dibangunkan oleh anak buahnya. 

Vano merunduk dan terus menghindar saat anak buah Alfian terus menyerangnya. "Cih, berlindung di belakang anak buah," ujarnya lalu tersenyum miring. 

Prajurit berkulit putih yang sekarang terlihat kusam itu berguling lalu mengarahkan pistolnya ke tangan anak buah Alfian. Jari telunjuknya menarik pelatuk.

Dor!

Vano terkekeh saat pistol di tangan anak buah Alfian terjatuh saat tangannya tertembak. "Black Tiger, izinkan saya menghabisi mereka!" serunya lalu mengarahkan moncong pistolnya ke kepala anak buah Alfian yang sudah bersimpuh di sebelah Alfian. 

"Bangun, sialan!" umpat Alfian lalu mendorong anak buahnya yang menangis kesakitan.

Prajurit berdarah Korea itu merasa sangat puas melihat anak buah Alfian yang sedang menangis seperti anak kecil saat terjatuh. Meski kini dia ditodong Alfian, Vano tetap menunjukkan wajah santainya. Dia tahu kalau Alfian pasti akan berpikir berkali-kali lipat untuk menghabiskan pelurunya yang terbatas. 

Dor!

Vano berhasil melepaskan pelurunya yang dilepaskan ke kaki anak buah Alfian hingga tidak sadarkan diri. Tidak tahu mati atau tidak, mati pun Vano tidak peduli. Kini dia sudah berhadapan langsung dengan Alfian. Dia sudah mengarahkan moncong pistolnya ke kepala Alfian, begitu juga sebaliknya. 

"Anggi, tunggu sebentar lagi!" seru Vano lalu tersenyum tipis saat bersiap menarik pelatuknya. 

Dugh!

"Argh!" rintih Vano saat kakinya yang belum pulih ditendang dari belakang. Kini dia hanya bisa berlutut menahan sakit yang sangat luar biasa. Bahkan kini kepalanya sudah ditodong pistol oleh anak buah Alfian yang menendangnya. 

Naun, Vano tidak akan menyerah begitu saja. Dia menatap Alfian yang sedang mencoba berlari ke lantai dua. Mata kecilnya melirik lalu segera menutup lubang pistol yang menodongnya lalu berdiri dan membanting anak buah Alfian sembari menahan rasa sakit di kakinya. 

Namun, Vano kecolongan. Alfian sudah berhasil melarikan diri ke lantai dua.

"Sial!" umpat Vano yang sedang beradu jotos dengan anak buah Alfian yang tadi dibantingnya. 

The Next Mission (Prajurit Mata Elang 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang