(32) Mengibarkan Bendera Perang

9.7K 1.1K 386
                                    

Jangan lupa vote komen 💕
Happy reading~

***

Di dalam box kontainer itu tersisa 7 orang yang masih saling terdiam setelah kepergian Nathan, Radit, dan juga para sandera. Sampai akhirnya Fahmi bersuara, "Inilah saatnya kita memasuki rencana terakhir kita."

"Bersiaplah, berwaspadalah," lanjut Adam sembari menatap keluar pintu yang masih terbuka. Angin bahkan terlihat sangat kencang di luar.

"Ini adalah badai yang ditunggu."

Dor!

Semuanya terkejut saat mendengar sebuah desingan peluru yang di arahkan ke dinding box kontainer yang membuat suara begitu melengking. Dengan spontan semua wanita di tarik ke belakang tubuh para prajurit.

Para prajurit segera menutup wajah mereka lalu memasang badan untuk melindungi wanita. Mereka mengarahkan pistol yang ada ditangan mereka ke arah pintu. Mereka bersyukur karena sudah membawa pergi pada sandera. Sebentar saja mereka telat, mungkin akan sedikit merepotkan.

Baru satu orang muncul masuk ke dalam box kontainer saja, sudah membuat para prajurit terkejut, karena orang itu adalah Alfian. Bagaimana bisa? Apa dugaan Anggi itu memang benar?

"Kenapa kalian terkejut?" Alfian terkekeh lalu matanya menatap para prajurit satu persatu dan terhenti pada satu orang, yaitu Anggi. Tatapannya pada Anggi sungguh tidak bisa terbaca sama sekali.

Vano yang menyadarinya segera menarik tubuh Anggi agar bersembunyi dibalik tubuhnya yang belum begitu pulih.

"Oi, Anggi!" seru Alfian sembari memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. Dia terlihat sangat santai dengan pakaian formalnya yaitu celana hitam dan juga kemeja hitam panjang yang di gulung sampai lengan, padahal sudah ada 4 pistol yang kini mengarah padanya.

"Kemarilah," titah Alfian sembari melambaikan tangannya pada Anggi. "Kamu tidak ingin bertemu dengan seseorang?" lanjutnya yang membuat semua orang kini penasaran. Siapa yang dimaksud oleh Alfian.

Namun, masih belum ada pergerakan apa pun dari Anggi. Meski bukan karena Vano yang menahannya pun dia juga tidak akan dengan mudahnya menurut pada Alfian. Walaupun dulunya mereka sangat dekat, kali ini Anggi tidak ingin percaya lagi pada Alfian.

"Kemarilah, aku tidak membawa senjata apa pun." Alfian mengangkat kedua tangannya menunjukkan kalau dia benar-benar tidak membawa senjata apa pun di tangannya.

"Cih, sok ganteng," gerutu Vano. "Heh, Ketua asolole!" serunya yang membuat raut muka Alfian berubah.

"Kami tidak bodoh, seperti kamu dan geng asololemu!" lanjut Vano lagi yang bahkan membuat teman-temannya bingung dengan apa yang akan dibicarakan dan dilakukan oleh Vano, Mengingat Vano cukup terlalu ceroboh, para prajurit menyiapkan trik menurut versi mereka sendiri-sendiri di dalam hati. Mereka bersiaga takut jika Vano tiba-tiba melakukan hal tak terduga.

"Kamu memang menunjukkan kedua tanganmu yang tidak bersenjata, tapi tidak dengan apa yang ada dibalik kain yang menutupi tubuhmu. Bisa jadi ada senpi atau sajam di sana," ujar Vano penuh dengan penekanan.

"Hei, mulutmu terlalu berbisa lama-lama akan berbusa. Kalaupun aku membawanya, aku tidak akan menyakitinya," sahut Alfian dengan penuh keyakinan, tapi tidak tahu dengan kenyataannya.

"Alah—"

"CUKUP!" seru Anggi memotong ucapan Vano. Darahnya mendidih. Kenapa suasana menantang ini berubah menjadi debat yang sangat konyol? Anggi melangkahkan kakinya, tapi Vano sudah menahannya lagi.

"Jangan."

Anggi menoleh, menatap Vano. "Aku tidak akan kenapa-kenapa. Aku masih belum melihat Pak Mus, Bu Linah, dan juga putrinya," ucapnya.

The Next Mission (Prajurit Mata Elang 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang