3. Grand Duchess Of Vastara

51K 3.9K 72
                                    


Pelukis akan datang besok, dan sudah saatnya bagi Amelia untuk keluar dari zona nyaman. Selama ini dia selalu berdiam diri di kamar dan memanggil pelayan. Dia belum mencoba keluar dari kamar, karena menurutnya kamar Ameliapun sudah sangat luas.

Dia juga tidak butuh apa-apa selain makan, berganti pakaian, dan mengurus Deneevan. Namun tidak mungkin baginya mengajak pelukis itu masuk ke dalam kamar pribadinya hanya untuk membuat potret putranya bukan?

Ah iya, semenjak Bibi Molly mengetahui perubahan sikap Amelia. Dia jadi sering datang untuk sekedar berdiri menemani Amelia atau mengawasi Amelia bersama putranya.

Satu hal lagi yang ingin Amelia tanyakan. Dia penasaran, kapan perang di wilayah perbatasan barat usai? Karena Amelia harus menyiapkan hati untuk bertemu sosok Grand Duke wilayah utara yang tidak lain Ayah Deneevan sekaligus suaminya.

Entahlah! Amelia tidak mau dibuat pusing oleh itu dulu. Karena mengurus Deneevan adalah yang terpenting, jangan sampai dia kekurangan kasih sayang dan salah jalan.

"Tuan muda, ah dia sedang tidur rupanya." Bibi Molly datang membawakan langsung Amelia camilan dan teh hitam.

Disini belum ada kopi, lebih tepatnya belum ada yang benar-benar mengerti bagaimana cara mengolah biji kopi, sehingga rasa yang sedikit mirip dengan kopi adalah teh hitam. Maklum Amel adalah penggemar kopi sejati.

"Iya dia baru tidur, paling juga bangun saat matahari sudah agak terik," balas Amelia.

Tampak guratan lelah dari wajah nyonya Duchess itu. "Nyonya, kalau saya boleh sarankan, mungkin saat tuan muda terbangun malam hari. Nyonya bisa meminta pelayan untuk sekedar menggendongnya sampai tidur," ucap Bibi Molly cemas.

"Iya itu benar Nyonya. Kepala Dayang, beliau bahkan tidak mau membangunkan saya ketika tuan muda menangis tengah malam. Kalau saya tidak berjaga di depan, mungkin Nyonya tidak akan bisa tidur seharian," sahut Jena.

Amelia terkekeh pelan, "Untuk yang tadi malam, terimakasih ya Jena. Tapi sebenarnya saya tidak apa-apa. Yah, memang agak melelahkan namun saya merasa tidak perlu sampai membangunkan pelayan yang beristirahat hanya karena putra saya terbangun saat lapar atau popoknya penuh," balas Amelia yang berusaha menjaga image.

Meski aslinya Amelia agak bobrok di dalam, namun dia harus bertingkah selayaknya nyonya rumah yang berwibawa. Karena bagaimanapun wibawa tuan rumah akan mempengaruhi pandangan bawahan untuk majikannya.

Bibi Molly tampak terharu mendengar ucapan Amelia. "Anda benar-benar sudah berubah Nyonya. Saya turut senang, andai Tuan Duke ada disini mungkin---ah maafkan saya Nyonya."

Amelia menarik sudut bibirnya tipis, "Tidak masalah. Perangai saya dulu buruk sekali, kalaupun saya jadi kalian, saya langsung santet tanpa perlu pikir panjang," balas Amelia yang tampaknya tidak begitu dipahami oleh Bibi Molly maupun Jena.

"Santet itu apa Nyonya?"

Mau diberitahukan pun, rasanya Jena tidak akan paham. Amelia memilih untuk mengalihkan pembicaraannya. Sebagai putri kekaisaran yang menikah dengan Grand Duke Utara, bukankah harusnya ada hadiah yang diberikan istana untuk kelahiran putra pertama grand duke utara?

Mereka yang tidak memberikannya, atau Amelia yang kurang info soal hadiah. Apalagi Amelia memang belum mengenal dengan jelas karakteristik para pelayan maupun butler yang ada di kediaman ini. Tapi kalau Amelia tanyakan, bukankah nanti mereka akan curiga?

"Bibi Molly, apa istana tidak memberikan hadiah atas kelahiran Deneevan. Mau bagaimanapun Deneevan adalah keponakan Kaisar."

Bibi Molly tampak diam sembari melirik ke arah Jena. "Daripada itu, apakah Nyonya tidak bosan mengenakan baju tidur?"

Menjadi Ibu Dari Antagonis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang