🌱Part 2

626 41 3
                                    

•🌱Selamat Membaca🌱•

Seraya berkeramas, Julian memijat kulit kepalanya perlahan-lahan. Mencoba berpikir bahwa dengan melakukan itu, akan membuat masalah yang menjadi beban pikiran remaja-remaja seusianya ini sirna begitu saja.

Di depan cermin yang berembun, ia mematut wajah serta tubuhnya polosnya.

"Bodoh banget sih lo, Lian!" kesal Julian, meraup kuat rambutnya yang penuh dengan gumpalan busa shampo.

"Kok bisa sikap gue kalo di deket dia bisa sampe malu-maluin begitu."

Akhir-akhir ini, ia tak berhenti merutuki diri karena selalu nampak bodoh dan memalukan di depan Hara. Andai begini, harusnya seperti itu. Semua kalimat penuh kata andai itu kadangkala menjadi bahan introspeksi diri habis-habisan sebelum Julian jatuh terlelap. Bukan saja ia dan sang gadis yang menjadi saksi perangai bodohnya, namun juga ada Derlyn diantara mereka. Tidak habis pikir. Yang bisa Julian lakukan hanya mengharapkan agar Hara berlaku cuek dan terlupa pada hal-hal yang bagi Julian terkesan memalukan.

"Julian."

"Ya?"

"Juliaaan..."

Ah, sepertinya Neneknya tidak terlalu mendengar sahutannya yang berada di kamar mandi. Ia bergegas cepat, membilas dan mengeringkan tubuh sebelum pakaian-pakaian kering itu membalut rapi tubuhnya.

"Apa Oma?" sahut Julian sambil berjalan cepat melewati tangga kayu di rumahnya. Di bawah, sang Nenek nampak berdiri bagai pigura pajangan. Depan televisi, mengunci chanel dengan acara favoritnya.

"Loh, kamu tadi mandi ya?"

"Iya. Oma kenapa manggil?"

Tidak berniat menjawab, Nenek Julian yang biasa dipanggil Naina itu justru memicing. Kearah Julian. Mengusap kasar wajahnya sebelum berceletuk iseng, "mukanya masih sama tuh."

"Ya terus menurut Oma, kalo orang mandi tuh harusnya kumannya ilang sampe semuka-mukanya juga gitu?"

Julian menggeleng ribut. Membuat Naina praktis tertawa dengan suara renyah.

Pandangannya terpaku pada anak tangga yang baru saja ia pijaki. Tidak mungkin tadi dirinya rela bergerak cepat bukan main hanya demi menerima usapan iseng—dari telapak tangan sang Nenek pada wajahnya.

"Oma tadi manggil aku kenapa dong?"

"Oh, bentar, Oma lupa soalnya." Naina terlihat berpikir keras. Hanya berselang hitungan menit pun sudah cukup mampu membuatnya terlupa akan suatu hal. Faktor u, usia tentu saja.

Menunggu ingatan sang Nenek kembali, Julian duduk dan ikut memperhatikan televisi meski tubuh sang Nenek sedikit menghalangi. Ternyata, acara pertandingan bola antar Indonesia versus Malaysia. Sesaat, Julian terperangah. Rupa-rupanya acara itu yang sejak awal ditonton Neneknya dengan raut wajah serius bercampur gemas.

Julian speechless.

Sampai dalam hitungan menit kemudian sang Nenek baru mengingat apa yang harus ia beli, lalu menepuk pundaknya lembut.

"Oma mau minta tolong beliin obat Oma sama sabun mandi merek ***** mau kan? Belilah jajan juga kalau kamu mau."

Julian mengangguk, pokoknya apapun untuk sang Nenek. Tangannya menadah, menerima selembar uang ratusan bersama selebaran kertas resep obat yang harus ia tebus di apotek, lokasi yang berbeda dengan minimarket tempatnya membeli sabun mandi.

Karena memang lumayan dekat bagi Julian, tak perlu naik motor untuk mencapai minimarket. Lebih tepatnya, ia harus sadar diri kalau tidak punya satupun motor. Kalaupun ada kendaran, hanya satu mobil peninggalan orang tuanya yang masih sangat mulus meskipun sudah tua termakan zaman. Jadi daripada memilih membawa mobil dengan segala tetek bengek kerepotannya hanya untuk menempuh jarak kurang dari 5 kilometer, jelas lebih baik ia berjalan kaki.

The Silent Truth Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang