•🌱Selamat Membaca🌱•
"Yang bakal ngewakilin kelas IPA tiga di Olimpiade Matematika..."
"Alex."
Tepuk tangan riuh menggema. Seisi kelas memberi semangat pada Alex atas kesempatan yang ia dapatkan untuk mengikuti Olimpiade Matematika. Olimpiade setingkat kota yang hanya digelar sekali dalam setahun. Jika menang, maka gerbang setingkat provinsi akan berada selangkah di depan mata. Dan Alex, cowok itu adalah satu dari dua orang yang secara hormat terpilih untuk berpartisipasi.
"Lanjut, yang terakhir, nama yang ngewakilin Olimpiade Biologi..."
"Semangat untuk Julian."
Kembali, tepuk tangan menggema di setiap sudut kelas. Julian hanya tersenyum malu-malu. Memukul kuat-kuat punggung Derlyn karena salah tingkah abis atas kesempatan serupa yang ia dapatkan. Maklum, ini adalah kali pertama baginya dan bagi siswa siswi seangkatannya mendapat kesempatan mengikuti perlombaan bergengsi seperti itu. Seperti Derlyn dan seorang siswa lain yang terpilih untuk mengikuti Olimpiade cabang renang. Lalu untuk kategori seni lukis, ada seorang Juan yang dipercaya mampu membawa sebuah kebanggaan bagi sekolah ini.
"Yang udah dapat kesempatan mengikuti perlombaan-perlombaan yang Ibu sebutkan, diharapkan, kalian bisa berlatih dan belajar lebih keras sampai hari H. Urusan menang atau kalah memang belakangan. Tapi kalau sejak awal kalian udah berusaha sekeras yang kalian bisa, bukan nggak mungkin sekolah ini bakal nyabet gelar kemenangan untuk yang kesekian kalinya."
Tutur Vera, wali kelas IPA 3.
"Siap, Bu."
Begitu punggung wanita itu tak lagi nampak bagi penglihatan warga kelas, suasana kelas lekas kembali riuh dengan berbagai topik pembicaraan. Tapi tentu saja tak jauh-jauh dari topik seputar perlombaan tersebut. Ada yang menyayangkan diri sendiri karena belum mampu mendapat kesempatan yang sama, ataupun mempertanyakan hal-hal lainnya seputar perlombaan pada si calon peserta.
"Lo bakal latihan dimana?" tanya Julian menumpu dagunya. Matanya dengan seksama memperhatikan apa yang selanjutnya akan diucapkan pemuda di sampingnya. Namun, lantas merengut masam sewaktu jawaban Derlyn ternyata ngawur.
"Di empang."
"Serius, Kintil."
"Ya mana gue tau, Tole! Gue sama Johan juga belum rembukkan mau latihan dimana."
Jawaban dari Derlyn terdengar sewot. Balik mematut Julian yang cuma mengangguk dengan raut menyebalkan. Entah kenapa saat ini, wajah tegas temannya itu sangat menyebalkan untuk sekedar ditatap lama-lama. Ia tidak tahan.
"Woi, ganti seragam woi."
Pergantian jam telah dimulai. Tepat di jam 09.00 ini, IPA 3 akan mendapat giliran mata pelajaran olahraga. Mau tak mau, kemeja putih berompi abu bersama bawahan hitam khas Grand Prima itu akan segera diganti dengan sepasang pakaian olahraga. Yang juga berwarna abu-abu dan hitam-seolah SMA ini memang memilih warna turunan hitam untuk merepresentasikan warna khas seragam atau semua atribut. Untuk membedakan mereka dari siswa sekolah lainnya.
Warga kelas mulai bergantian bangkit berdiri. Termasuk Julian, mereka akan menuju ruang ganti atau lebih dulu menuju loker untuk mengambil sesuatu.
"Lo duluan. Gue mau ke toilet. Boker."
"Buset."
Julian menatap kepergian cowok bersurai bersurai lebat itu dengan datar. Sepertinya, jawaban yang terdengar sewot darinya saat Julian bertanya bukan tanpa alasan. Rupanya, tengah menahan boker.
Masuk akal.
Jadi, dengan terpaksa ia berjalan sendirian diantara teman-temannya yang sudah lebih dulu menuju ke ruang ganti. Bukan untuk kesana, namun Julian harus lebih dulu menuju loker demi mengganti sepatu dengan sepatu sporty miliknya. Agar lebih nyaman dan leluasa nantinya. Sebab kata sang guru pengampu, olahraga di minggu ini akan dimulai dengan sebuah kegiatan berlari sebagai pemanasan sebelum memasuki materi inti.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Silent Truth
Teen FictionAnak yang tertukar? Bak sebuah serial drama kolosal, Julian tidak pernah menyangka bahwa garis takdirnya akan menjadi selucu ini. "Masalah hidup gue aja udah bikin gue senep. Terus ditambahin drama-drama begini nih, hm... mantep." "Muntah aja lah...