•🌱Selamat Membaca🌱•
"Selesai."
Goresan terstruktur diatas kanvas telah selesai. Pemuda itu tersenyum dengan rasa bangga. Dalam beberapa hari belakangan, merasa tidak sia-sia ia mengerahkan seluruh usaha terbaiknya untuk membuat lukisan itu. Merelakan waktu, dan mengesampingkan rasa penat demi menyempurnakan wajah seorang wanita asing-hingga benar-benar persis seperti wajah yang bertebaran di ruang kepalanya.
Juan, namanya.
Matanya melirik ke area dinding dimana sebuah jam berada. Telah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Hanya untuk membuatnya tersadar kalau ia segera harus menemui sang Ayah sesuai permintaan pria itu.
Ia pisahkan kuas dari jari-jemarinya. Suasana kamar yang cukup berantakan ia tanggalkan, juga sajian secangkir penuh teh Kamomil yang dari awal sama sekali tidak ingin ia nikmati.
Sesuai seperti seharusnya. Lampu-lampu setiap ruangan telah dinyalakan membuat suasana dalam rumah ini cukup kontras dengan gulita malam. Cat putih, pilar-pilar besar yang juga berwarna serupa, sampai pagar dalam rumah yang terbuat dari kaca, menyebabkan cahaya lampu terpantul begitu terang dan memberikan kesan formal disaat yang sama. Meski di samping itu, para pria-pria bersetelan hitam itu seakan-akan ada untuk menyerap cahaya lewat legamnya jas yang mereka kenakan.
"Daddy."
Mengenakan kemeja hitam dan duduk di sebuah kursi kebesarannya. Berhadapan dengan meja kayu ukir berwarna hitam nan kokoh, yang membuat siapapun mungkin berpikir bahwa meja tersebut memang dihadirkan untuk mengimbangi rupa gagah si pemilik.
Pria itu, pria yang baru saja dipanggil Daddy oleh Juan. Tatapannya sedalam palung Mariana dan netranya berwarna sebiru samudra. Memang tak lagi muda, namun secara fisik nyatanya masih sangat mampu dielu-elukan. Seorang otoriter sejati yang bahkan bagaikan merasa semua orang berada di bawah kendali kakinya.
"Duduk."
Juan hanya menurut. Ia duduk di sofa, masih dengan ruangan yang sama.
"Daddy dengar, kamu baru aja dikasih kesempatan ikut perlombaan."
Ah, tidak. Juan sama sekali tidak berekspektasi bahwa Ayahnya akan mengetahui berita itu, dengan waktu sesegera ini. Tapi memangnya apa yang bisa Juan lakukan untuk mencegah berita itu mengepul sampai ke telinga Ayahnya? Tidak, ia tidak bisa. Kaki, tangan, dan telinga dalam artian lain milik sang Ayah pun bertebaran di sekolah itu.
"Ya."
"Di bidang lukis?"
"Hm."
"Bagus."
Pria itu memujinya dalam kesunyian ruangan. Sebelah kaki yang terbalut pantofel hitam mengilap itu ia letakkan pada kaki lain yang menganggur. Bertopang kaki dengan angkuh tanpa terlihat peduli bahwa perasaan sang putra sudah mulai tak nyaman.
"Then, kenapa kamu nggak bisa ngikutin Olimpiade Sains kaya teman seangkatanmu yang lain?"
Juan terdiam. Ia seolah terkena skakmat dari Ayahnya sendiri. Bagai diterbangkan hingga langit ke sembilan, lalu dihempaskan begitu saja sampai terkubur di palung terdalam.
"Hm?"
"Nggak bisa jawab?"
Helaan nafas pria itu terdengar menggema di penjuru ruangan. Seakan-akan dirinya baru saja berkata secara tak verbal; bahwa ia jengah dengan kelakuan putranya itu.
"Balik ke kamar."
Lagi-lagi, Juan tak mampu melakukan apapun kecuali mengangguk patuh pada sang Ayah. Sebelum keluar dari ruangan pun, ia harus sesaat membungkukkan punggungnya untuk menunjukkan sebuah rasa hormat. Dan itu ia lakukan sejak dulu, bahkan sejak kali pertama Juan kecil mampu mengingat sesuatu. Yang membuatnya lantas merasa berbeda dengan anak-anak muda lainnya, sekaligus yang membuatnya merasa diperlakukan tidak berbeda jauh dengan para pengawal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Silent Truth
Teen FictionAnak yang tertukar? Bak sebuah serial drama kolosal, Julian tidak pernah menyangka bahwa garis takdirnya akan menjadi selucu ini. "Masalah hidup gue aja udah bikin gue senep. Terus ditambahin drama-drama begini nih, hm... mantep." "Muntah aja lah...