🌱Part 6

362 41 1
                                    

•🌱Selamat Membaca🌱•

Di bawah teriknya sinar mentari siang itu, Julian melangkah dengan derap tenang diatas trotoar. Entah ada angin apa, pemuda itu memutuskan untuk menikmati perjalanan pulangnya dengan berjalan kaki. Setidaknya sampai merasa letih sebelum memilih menyewa sebuah transportasi. Abai, perihal kulitnya saat ini sampai penuh dengan semburat kemerahan yang terasa panas dan gatal akibat sengatan si bintang paling dekat.

Sesuai dugaannya, hanya dalam kurun kurang dari setengah hari, dokumen akta kematian Naina dan juga Kartu Keluarga yang baru telah ia dapatkan tanpa segelintir drama kerumitan yang ia alami. Semuanya berjalan lancar.

"Mirip kepiting njir." gumamnya saat melihat pantulan diri sendiri dari kaca sebuah kedai yang ia lewati.

Warna kulit aslinya cenderung pucat, namun sekarang terlihat memerah merekah seperti tomat matang. Pantas saja banyak pasang mata yang terang-terangan memandang dengan tatapan mata sulit tertebak, kearahnya. Sebagian dari mereka justru berekspresi geli yang tidak biasa.

Seringkali, Julian berpikir ragu bagaimana dirinya bisa mendapatkan kulit dengan tone seterang ini. Kulitnya seperti diturunkan dari campuran ras Kaukasoid, sementara Kenzo dan Raya memiliki warna kulit yang masih ia ingat dengan jelas berupa sawo matang menuju kuning langsat. Saat ia mencari tahu tentang perawakan dari keluarga pihak sang Ayah pun, yang ia dapati dari lembaran foto kenangan mereka tetaplah perawakan khas Asia, seperti orang tuanya. Kulit langsat, mata sipit, juga rambut dan kornea berwarna hitam.

Sampai pemuda itu lelah sendiri dan enggan berniat tahu bagaimana dirinya bisa mendapatkan ciri fisik yang 'agak' berbeda dari Ibu dan Ayahnya sendiri. Lagipula, masih ada sang Kakek dari pihak Ayah yang belum ia ketahui bagaimana parasnya. Atau mungkin yang paling jauh, dia memang terlahir sebagai albino dengan mata dan rambut berwarna hitam.

Julian membuka gulungan lengan kemeja biru muda yang dijadikan luaran. Topi hitam dari dalam tas juga ia kenakan di saat berikutnya. Ia menyerah, hawa panas di hari ini memang sudah tak bisa tertolong.

Rasanya cukup sukar menahan diri untuk tidak membeli minuman dingin yang bertebaran di berbagai minimarket sampai kedai pinggir jalan.

Dari jarak yang cukup jauh, Julian rela menyipitkan matanya untuk sebuah pemandangan yang mencolok. Terlalu lamban untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi disana. Namun ketika seseorang menyebutkan kata 'maling' dengan suara paling lantang, Julian dibuat syok. Di detik yang bersamaan dengan seorang pria berpakaian tertutup yang lari kesetanan menuju arahnya bersama sebuah laptop-ia yakin pria dengan laptopnya itu yang baru saja menciptakan sebuah kehebohan.

"Awas woy!" Pria itu menyuruhnya minggir dengan tergesa-gesa, namun Julian justru menyeringai picik. Dengan sengaja menjulurkan sebelah kakinya hingga-

Duakk

"Sorry ya Mas."

"ANJ*NG KAU YA!"

Batinnya tergelak riang, senangnya dalam hati. Julian hanya menyeringai kecil ketika tubuh pria itu lekas ditahan kuat-kuat oleh beberapa pria berbadan besar yang sejak awal mengejarnya. Benar pencuri atau bukan, pria itu berhak bertanggung jawab atas perbuatannya. Ataupun untuk sekedar meluruskan kesalahpahaman yang terjadi-jikapun ia tidak berniat mencuri. Alih-alih membuat warga kerepotan dengan sebuah aksi kucing-kucingan.

Sampai disini, Julian masa bodoh dan kembali melanjutkan langkahnya. Seolah, itu bukanlah apa-apa. Bagai angin lalu dan tidak sekalipun menggoyahkan langkah kakinya.

Tetapi sebelum itu, Julian merasakan pundaknya mendapat sebuah tepukan. Sesaat, ia dibuat terkejut.

Sebab si pelaku yang tak lain tak bukan, adalah teman satu sekolahnya.

The Silent Truth Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang