•🌱Selamat Membaca🌱•
"Omaaaa..."
"Lian pulang nih. Tebak bawa apa?"
Begitu kakinya telah menapak di lantai ruang tamu, Julian berseru. Rautnya luar biasa sumringah, sebab ada hal-hal berharga yang ikut ia bawa dalam kepulangannya hari ini.
"Omaaa..." panggil Julian kedua kalinya, rupa-rupanya Naina sudah menyiapkan menu makan malam berupa tumis capcay juga telur dadar, beserta kentang Mustafa yang sejak dulu menjadi salah satu masakan rumahan kesukaannya. Berjejer rapi diatas meja bertudung saji, seolah masakan-masakan tersebut sudah lama menantikan kehadirannya.
"Oma? Mana ya?"
Prioritasnya sekarang, adalah melepas sepatunya sebelum hal itu dijadikan sebuah alasan bagi kemurkaan sang Nenek. Bagi Julian, mendapati kemarahan Naina adalah salah satu hal yang paling menyenangkan di dunia.
Eits, jangan berprasangka yang aneh-aneh dulu.
Gaya bicaranya khas, sewot namun begitu mudah berganti suasana hati menjadi alasan mengapa Julian sering sekali memancing rasa kesalnya dikala gabut.
Satu hal yang patut dunia dan seisinya tahu, Julian sangat menyayangi Omanya. Biarkan ia menuruti apapun keinginan wanita yang parasnya sudah rapuh termakan usia itu, demi mengekspresikan sebuah kasih. Segalau-galaunya Julian saat didera patah hati, jikalau sang Oma sudah berkata bahwa ia tengah dilingkupi rasa senang, Julian selalu sigap untuk menghalau pergi bayang-bayang galau nan gundah yang ia rasa. Menggantinya dengan senyum terbaik yang ia punya, dan mendengarkan hal apa saja yang membuat sang Nenek lantas merasa bahagia.
Jangankan sekedar patah hati. Kalau Naina dengan iseng memintanya mendaki gunung Semeru sampai ke puncak pun, tanpa pikir dua kali akan Julian turuti. Meski harus mengorbankan nyawanya sekalipun, ia rela. Sebab hanya itu yang mampu ia lakukan untuk menunjukkan bentuk cintanya pada keluarga satu-satunya yang ia punya. Pada sosok yang selama beberapa tahun ini menjadi wali pengganti Ayah Ibunya.
"Oma? Kemana sih? Ini loh, Lian bawain ayam krispy dari Derlyn. Cuma buat Oma kok."
Satu persatu tangga ia pijaki. Sejak Julian berusia balita hingga sebesar ini, tangga berbahan kayu itu akan selalu menciptakan gema yang khas untuk setiap langkah kaki yang memijaknya. Gema khas yang seringkali mengingatkannya pada langkah kaki orang-orang yang pernah menetap di hati. Entah langkah tegas sang Ayah, langkah teratur sang Ibunda, ataupun langkah ringan sang Nenek.
Suara membangkitkan memori, adalah nyata adanya.
"Oma?"
Untuk kesekian kalinya, Julian masih belum menyerah untuk terus memanggil sang Oma.
Sampai ketika ia mencapai kamar Naina, Julian dibuat terkejut setengah mati. Dadanya bergemuruh hebat. Bahkan ketakutannya pada roh halus pun bukanlah apa-apa dibandingkan ketakutan yang ia rasakan sekarang.
Naina, disana. Tergeletak tak sadarkan di lantai tanpa siapapun tahu.
"O-ma?"
Julian geming. Berusaha menghalau gemetar pada tangannya lewat mendekap kuat-kuat raga Naina yang terasa sedingin es. Masih dengan keras menampik bahwa kulit wanita renta itu kini sudah pucat pasi tanpa bisa ia cegah. Jelas-jelas, raganya masih begitu sehat ketika ia memutuskan meninggalkan rumah di pagi tadi. Jadi begitu mendapati tubuh tak berdaya Naina sekarang, Julian hanya berharap keras bahwa saat ini semua hanyalah mimpi. Dan dirinya akan kembali terbangun oleh suara sang Nenek pada keesokan harinya.
"Oma... bangun dong, Ma. Oma!"
Secepat kilat Julian bangkit. Pontang-panting menata kesadarannya, lalu mencari kunci dari mobil satu-satunya yang mereka miliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Silent Truth
Teen FictionAnak yang tertukar? Bak sebuah serial drama kolosal, Julian tidak pernah menyangka bahwa garis takdirnya akan menjadi selucu ini. "Masalah hidup gue aja udah bikin gue senep. Terus ditambahin drama-drama begini nih, hm... mantep." "Muntah aja lah...