•🌱Selamat Membaca🌱•
Pada Jum'at sore itu, yang jelas Julian takkan pernah menyesali keputusannya sewaktu singgah di kursi sebelah Hara. Sebab kalau tidak, mungkin Julian tidak akan pernah menikmati sebuah perbincangan syahdu yang sejuk dibawah atap sebuah minimarket bersama sang pujaan hatinya. Berkali-kali darahnya dibuat berdesir hangat, terlebih ketika sepasang obsidian sehitam jelaga itu membalas tatapannya.
Bahkan, kalaupun Hara enggan menyapa ataupun sekedar menganggap kehadirannya, Julian akan merasa itu bukanlah suatu masalah. Ia rela menebalkan wajah hanya untuk mencoba menikmati momen yang menurutnya syahdu. Berlagak tak mengenal rasa malu hanya untuk bisa satu frame lewat sebuah sudut pandang bersama dengan gadis itu.
Jatuh cinta sepihak itu ngeri-ngeri sedap, dalihnya dalam hati. Yang sebenarnya hanyalah kalimat sesaat menghibur diri.
"Jadi yang bener, lo suka atau nggak sama gultik?" tanya gadis itu dengan air wajah sinis tanpa alasan. Setiap bibirnya terbuka, lantas begitu saja kepulan asap-asap putih itu menguar bersama karbon dioksida yang juga ia hembuskan. Sangat jelas membuat Julian yang bahkan tak pernah sekalipun menghisap benda itu sesekali kepayahan meneguk saliva. Tak nyaman agaknya.
"Lumayan."
"Kapan-kapan kita makan bareng di warung gultik, lo mau?"
Sebenarnya, kedai Gulai Sitik yang berada di seberang menjadi akar dari obrolan saat itu. Kedai berupa angkringan yang baru saja ditata itu terkenal cukup ramai oleh pelanggan pada malam harinya. Lebih-lebih lagi, saat malam menuju weekend yang bisa membuat kendaraan mengular hanya untuk parkir.
"Hm."
"Tapi gue harap sih nggak pernah jadi."
Tak ambil pusing dengan ucapan balas dari Hara yang kedengarannya seperti sebuah candaan tidak niat, Julian memilih terkekeh ringan. Sebuah deheman awal dari gadis itu ia anggap sebagai isyarat lampu oranye. Entah kapan, namun yang pasti suatu saat Julian berjanji akan membawa mereka ke sebuah kedai Gultik dengan suasana paling hangat. Menghabiskan sepiring gulai atau lebih, sambil bertukar cerita atau menjadi pengamat setia bagi pemandangan sekitar.
"Bentar."
Hara enggan mempertanyakan apapun ketika cowok itu bangkit dan melangkahkan kakinya kearah pintu minimarket. Namun secepat kilat kembali bersama sekotak susu cokelat, serta dua bungkus roti lapis. Sama sekali tidak mengatakan apapun ketika cowok itu juga meletakkan sekotak susu cokelat dan sebungkus roti tadi di meja hadapannya.
"Susu, Ra." tawar Julian. Tangannya sibuk membuka sebungkus roti sebelum menggigitnya dalam ukuran kecil. Kalau Julian mengatakan ia menawari susu untuk menetralisir mulut dan bibir gadis itu agar tidak digelayuti aroma asap rokok saat pulang ke rumah nanti, Hara bisa saja marah padanya. Lagian, masa cantik-cantik bau rokok?
"Hu'um. Thanks."
"Padahal gue juga punya kalo inimah."
Yang mengejutkan, gadis itu mengatakannya sambil menggenggam kemudian memperhatikan kotak susu berperisa cokelat itu. Lalu melirik 'susu' lain yang dirinya maksud. Praktis membuat Julian di sebelah menatap tak percaya, dan membiarkan semburat kemerahan itu menjalar dari pipi hingga ke telinga.
Sukses, membuatnya salah tingkah.
"Bercanda anjir. Tuh muka udah merah ae." decak Hara. Matanya berputar, hiperbolis.
"Bercanda atau nggak muka lo kaya nggak ada bedanya Ra." celetuk Julian, alihkan topik secara smooth sambil kembali melahap rotinya yang tersisa setengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Silent Truth
Teen FictionAnak yang tertukar? Bak sebuah serial drama kolosal, Julian tidak pernah menyangka bahwa garis takdirnya akan menjadi selucu ini. "Masalah hidup gue aja udah bikin gue senep. Terus ditambahin drama-drama begini nih, hm... mantep." "Muntah aja lah...