•🌱Selamat Membaca🌱•
"Makasih ya, Pak."
"Iya Dek, sama-sama."
Jam telah menunjukkan pukul setengah 12 malam ketika Julian baru turun dari taksi online yang ia pesan. Sedikit bersyukur masih ada kendaraan umum yang bisa ia pesan pada waktu yang hampir menginjak tengah malam seperti ini.
Hari ini, waktu sepulang sekolahnya lekas ia isi dengan memilih pergi menemui teman-teman satu komunitasnya. Bukan komuitas, namun lebih disebut teman-teman seperguruan Taekwondo. Berkumpul bersama di Dojang—sebutan untuk tempat berlatih Taekwondo—sambil mengumbar cerita dan berbagi tawa. Lalu, tanpa lupa untuk mengulas kembali teknik-teknik yang sudah cukup lama tak dieksekusi.
Memenuhi janji dua hari lalu, dan sama sekali tidak memprotes apapun saat pemuda itu tahu ia juga akan pulang selarut ini. Dalam keheningan yang pasti dan diantara gelap gulita. Jika Naina masih ada, Julian bahkan tidak yakin jika ia diperbolehkan berada diluar rumah meski jam baru saja menunjukkan pukul sembilan. Jika nekat, jelas akan disambut oleh gerutuan paling manis sejagad raya.
Hanya saja, sebelumnya Julian tidak pernah tahu bahwa komplek besar tempatnya tinggal nyatanya akan menjadi sesepi ini sewaktu tengah malam. Lampu-lampu rumah dan bahu jalan yang begitu menerangi tetap tak bisa menyamarkan suasana yang terlampau sepi.
"Sumpah kaya komplek mati."
Sudah dibilang, Julian itu penakut akut. Dedaunan dari sebuah pohon mangga yang bergoyang pun juga mampu dengan mudah menggoyahkan mentalnya. Spontan, pemuda itu melepas pasang topi hitam yang sejak awal ia kenakan demi menghalau perasaan gugup. Langkahnya cepat, resleting hoodie hitam polosnya pun ia rapatkan untuk menepis rasa dingin.
Guk!
Guk-guk!
"Anjing."
Ucapnya. Frasa yang berada diantara pernyataan sekaligus umpatan.
Dari kejauhan, mata kekuningan milik hewan berbulu itu terlihat kontras ditengah kelamnya malam. Di samping pagar sebuah rumah, berjarak sekitar 20 meter, menggonggong kencang seolah Julian adalah seorang manusia dengan segudang niat buruk yang wajib bin mesti dihempaskan ke dalam parit.
Julian suka anjing, hanya jika rumahan.
Demi apapun, anjing liar seperti sebuah entitas yang berbeda dengan para anjing peliharaan yang dirawat sedemikian rupa oleh pemiliknya. Mereka mengerikan, mengejar, dan bisa saja menyimpan deretan virus terutama rabies yang mematikan.
Lantas dengan begitu saja, langkahnya berubah menjadi dua kali lebih lambat. Sebab kata orang, jangan pernah berlari jika berhadapan dengan seekor anjing galak.
"Sial."
Sayangnya, untuk kali ini ia takkan mempercayai apapun yang orang katakan. Seperti dugaannya, anjing itu memberdayakan keempat kakinya yang utuh hanya untuk mengejar dirinya tanpa ba-bi, dan bu. Alias, tanpa basa-basi. Tidak sedikitpun membagi kesempatan bagi Julian untuk sekedar mengambil ancang-ancang, atau mempersiapkan kedua kaki bersama jantungnya.
Untuk berlari.
Pontang-panting.
"Woi ngent*t! Salahku apa, asu?!"
Umpatnya lantang sambil menengok ke belakang dimana anjing itu masih dengan giat mengejar tanpa memberi tahu alasannya. Julian yang malang, nasibnya sedang sial. Dan dalam keadaan seperti ini, Julian merasa menjadi seorang atlet dadakan dengan kecepatan lari yang terus bertambah per detiknya. Dagunya menegak, dadanya ikut membusung. Kalau pun ada jalan berkelok, kakinya seakan dapat dengan mudah mengerem juga melompat. Padahal sepatunya pun jelas tidak cukup mendukung untuk berlari.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Silent Truth
Teen FictionAnak yang tertukar? Bak sebuah serial drama kolosal, Julian tidak pernah menyangka bahwa garis takdirnya akan menjadi selucu ini. "Masalah hidup gue aja udah bikin gue senep. Terus ditambahin drama-drama begini nih, hm... mantep." "Muntah aja lah...