•🌱Selamat Membaca🌱•
"Mana dasi, astaga?"
"Kaus kaki gue yang itu kemana sih? Kok nggak ada?"
Lima menit sebelum jarum terpendek jam menunjuk tepat di angka enam—Waktu Indonesia bagian Barat. Diluar Jakarta, Juan sangat yakin bahwa mentari bahkan masih belum menampakkan sinarnya dengan penuh.
Waktu-waktu seperti ini memang menjadi waktu paling sibuk di rumahnya. Di rumah Ayahnya yang sebesar ini. Semua orang bergegas cepat dengan sisa waktu yang mereka miliki. Maid staff, chef, penjaga, ajudan, dan petinggi. Mereka tak boleh kecolongan untuk setiap detik tugas pagi yang dijalani. Dan sama seperti mereka, ia juga sama. Dalam lima menit yang tersisa, Juan mati-matian bergerak cepat seperti prajurit militer yang tengah menempuh pendidikan.
Tebak, untuk apa? Untuk mengejar jarum jam agar tak sampai menunjukkan tepat pukul enam. Sebab di jam itu, keluarga inti Ayahnya dan para petinggi pegawai harus telah menduduki kursi makan sebelum sang kepala keluarga tiba—bahkan Juan selalu hapal detik dan menit ke berapa pria paruh baya itu tiba untuk menduduki kursinya.
"Anj*ng, pake yang lain aja lah."
Jarang-jarang Juan sampai mengumpat. Bukan main paniknya.
Sekali ia terlambat datang ke meja makan pada beberapa tahun lalu, Luis—Ayahnya langsung bangkit berdiri dengan rautnya yang dingin. Ia merasa bersalah saat tahu semua orang tidak bisa melanjutkan sarapannya setelah sang ketua bangkit. Dan untuk itu, Juan tidak akan mengulangi hal yang sama.
Tas sekolah telah ia jinjing, Juan telah siap turun meski penampilannya agak mengenaskan. Oleh karena itu perjalanan menuruni tangga ia isi dengan membenahi semua yang terlihat tak rapi. Atau teguran di depan semua orang akan ia dapatkan dari pria perfeksionis—yang Juan duga bukan lagi sebatas sifat perfeksionisme belaka, namun telah menjurus pada gangguan obsesif kompulsif.
Juan berlari tergopoh-gopoh saat sadar langkah kaki sang Ayah telah hampir mencapai area meja makan. Disana, semua telah berada dalam formasi lengkap. Kakak sulungnya yang jarang terlihat, ketiga kakak kembarnya, Tuan-Tuan ajudan, sampai para petinggi yang didominasi ketua divisi. Semuanya menjadi satu dalam agenda sarapan. Total, 45 buah kursi terisi penuh.
Penjaga, bawahan, dan staf lain sarapan terpisah. Mereka memiliki paviliun dan jadwal tersendiri.
"Silakan."
Sarapan telah dimulai. Mashed potato, salad, juga sayap ayam yang dipanggang menjadi menu yang tersaji rapi di piring setiap satu orang disana. Juga dengan porsi yang sama. Tidak ada susu dan selai kacang. Semua buah tersaji kecuali apel dan pir. Hanya boleh mengganti susu dengan krimer nabati. Sebab sang tuan rumah memiliki alergi pada bahan diatas.
Pengecualian pada alergi kacang, yang lebih banyak diidap oleh bawahannya.
Dalam kunyahannya, Juan tidak jarang memandangi sekelilingnya dari sudut mata. Mereka telah selesai dengan menu utama, beberapa lekas menginginkan buah atau makanan pencuci mulut yang tersedia.
Juan tidak minat. Entah kenapa rasanya muak sekali untuk sekedar memusatkan pandangan pada mangkuk-mangkuk besar berisi buah. Jengah pada menu makanan di rumah ini yang 'terlampau' sehat. Membuatnya terkadang menjadi pembangkang andalan hanya demi menikmati makanan 'tak sehat' yang jauh lebih bisa diterima lidahnya yang jenuh.
Luis sempat melirik dirinya sebelum pria itu bangkit berdiri sebagai pertanda berakhirnya kegiatan sarapan. Tatapan yang sulit terbaca, seperti hari-hari biasanya. Namun, ada yang sedikit berbeda. Entah apa, sayangnya Juan tidak benar-benar paham.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Silent Truth
Teen FictionAnak yang tertukar? Bak sebuah serial drama kolosal, Julian tidak pernah menyangka bahwa garis takdirnya akan menjadi selucu ini. "Masalah hidup gue aja udah bikin gue senep. Terus ditambahin drama-drama begini nih, hm... mantep." "Muntah aja lah...