•🌱Selamat Membaca🌱•
Dengan seribu perjuangannya untuk pulang, Julian pada akhirnya mampu menginjakkan kaki di rumahnya. Rumah yang entah bagaimana rupanya setelah ditinggal selama dua minggu penuh.
Langkah pertamanya pada ambang pintu, Julian disambut dengan suasana rumah yang begitu 'mati'. Begitu lampu dinyalakan pun, tak serta merta menghilangkan kesan yang dingin dan gelap yang sebelumnya dengan kuat melekat. Untungnya, bukan itu hal yang akan menjadi fokus Julian saat ini.
Ia dengan cepat menyeret kakinya yang terbalut gips untuk menaiki satu persatu anak tangga. Tentu dibantu sepasang kruk. Nyeri dan berat tidak ia hiraukan, terus melangkah tergesa hingga pintu kamarnya berada tepat di depan mata. Di dalam sana, ia dengan cepat membuka laptop meskipun harus sembari berhadapan dengan kabel charger sebab lowbat total.
Tujuan utamanya saat ini adalah membuka sebuah aplikasi, memesan tiket pesawat dengan rute domestik keluar pulau.
Tentu saja, menjauhkan dirinya sejauh mungkin dari pria keji itu.
Julian sama sekali tidak tahu akan butuh waktu berapa lama ia pergi menjauhkan diri, pun tidak yakin jika ia akan berniat kembali pulang ke rumah ini.
Namun niatnya harus tertunda sesaat, rupanya sinyalnya sedang ngelag. Membuat Julian ingin sekali membanting laptop miliknya hingga hancur—jika saja tidak ingat bahwa barang itu adalah hasilnya menabung selama dua bulan penuh. Tidak jajan dan menahan haus, juga berpuasa dari keinginannya membeli barang lain.
Dan sekarang, yang harus ia lakukan adalah berganti pakaian yang melekat di tubuhnya ini dengan cepat. Mengganti celananya dengan cargo yang sangat longgar untuk menutupi gips setebal Ensiklopedia di kaki. Juga mengenakan kemeja berlengan pendek berwarna senada yang begitu mudah dikenakan untuk kondisinya saat ini. Lebih tepatnya, agar papan kecil penyangga infus di tangannya yang belum dilepas itu bisa dilewati dengan mudah.
Agak kesulitan saat mengenakan celana, sebab gerakan sedikit saja mampu membuat kakinya nyut-nyutan sampai ubun-ubun.
Hingga Julian harus rehat sejenak setelah dirasa tak lagi kuat menahan nyeri.
Sialan pria itu.
Setelah itu, kegiatannya yang nomor dua adalah mengeluarkan koper untuk mengemas barang-barang penting. Definisi penting baginya adalah tentang dokumen pribadi atau barang penuh kenangan yang takkan bisa dibeli di manapun. Album foto, juga beberapa lembar pakaian paling bagus yang ia punya. Kemudian menyeret koper juga laptop untuk keluar dan menuruni tangga.
Misinya kali ini, mencari sinyal.
Syukurnya, tak perlu susah payah. Julian memastikan semua lampu rumahnya dan hanya menyisakan lampu dapur. Karena tanpa diduga, jaringan Wi-Fi rumah begitu lancar saat laptop ia bawa ke lantai bawah. Dan memilih memainkannya tepat di meja makan, dapur. Memesan tiket penerbangan ke Batam dari bandara internasional.
Banyak hal yang Julian pertimbangkan sebelum memilih Batam sebagai rute persembunyiannya. Mungkin setelah sampai disana, ia akan membuat paspor dan berjaga-jaga. Sebab yang terpenting sekarang adalah tentang nyawanya yang dipertaruhkan. Ia harus selamat dari kungkungan pria bermata biru—Julian benci memiliki mata yang sama dengannya.
Julian masih punya banyak mimpi dan cita-cita, by the way.
Cukup lama ia mengamati layar, hingga tersadar jika penerbangan tercepat dengan rute yang ia pilih pun hanya ada pada jam 12 siang. Itu berarti, tiga jam lagi. Membuatnya menurunkan bahu efek lemas, takut anak buah pria itu bisa dengan mudah menemukan keberadaannya meski hanya dalam kurun waktu kurang dari tiga jam saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Silent Truth
Teen FictionAnak yang tertukar? Bak sebuah serial drama kolosal, Julian tidak pernah menyangka bahwa garis takdirnya akan menjadi selucu ini. "Masalah hidup gue aja udah bikin gue senep. Terus ditambahin drama-drama begini nih, hm... mantep." "Muntah aja lah...