🌱Part 29

340 42 12
                                    

•🌱Selamat Membaca🌱•

"Capek." keluh bibir tipis kemerahan yang sedikit mengilap karena lembab.

Ia bersungut, namanya Julian.

Si pemuda tujuh belas tahun yang akhir-akhir ini sering merutuki kehidupannya sendiri. Lelah pada sakit kepala yang disebabkan oleh ribuan pertanyaan tanpa jawaban. Dari ribuan tanda tanya tak pernah terpuaskan. Secara garis besar, pertanyaan yang selalu bercokol adalah mengenai nasib dan takdir—kenapa nasibnya harus seperti ini sih?

"Terima kasih, Bi." ucapnya sopan saat seorang staf kembali pergi setelah membawakan makanan dalam nampan dan diletakkan diatas nakas.

"Sama-sama, Tuan Muda."

Makanan itu—herannya juga membuatnya lelah.

Apa itu?

"Bubur apaan bjir?" Julian mendengus kesal.

Wajahnya yang sudah masam menjadi berlipat-lipat lebih asam, bagai samsul alias asam sulfat. Bersifat korosif dan membuatnya ingin sekali melebur daging manusia dalam asam di lambungnya.

Bubur dengan asap mengepul yang tampak seperti... apa ya? Intinya, berwarna kuning jagung dan juga padat yang sukses mengingatkannya pada makanan Itali; polenta. Tapi jika melirik piring di sebelahnya yang berisi seonggok daging bersaus dengan secuil tulang kopong, Julian yakin tebakannya benar. Polenta dan osso buco. Menu malam ini mungkin memang secara khusus berasal dari Italia.

Gurihnya risotto memang cukup enak, sementara hidangan osso buco itu mungkin bisa diterima lidahnya. Tapi untuk menu bubur kuning mentereng, entahlah.

Julian meringis, bisa-bisa kurus kerempeng tubuhnya selama tinggal disini.

Jadi, what's the plan untuk ke depannya?

Itu ia pikirkan lain waktu.

Sebab setiap detail hal di rumah ini mampu membuat darahnya mendidih karena emosi. Selain kurus, mungkin tekanan darahnya juga melonjak drastis.

Jadi dibanding langsung menikmati santapan malam, Julian justru memilih diam dan memandangi pemandangan kelam dari tepian kasur. Lilin dan dupa aroma ia nyalakan, menguarkan wangi kamomil yang sejak dulu dalam bentuk apapun harus ada di sekitar penciumannya. Bagaimana Luis tahu?

Harus dengan cara apa lagi ia menjelaskan bahwa dirinya ini tengah stres?

Ketukan berpasang-pasang sepatu yang terdengar diluar kamar membuatnya memejamkan mata. Menajamkan pendengarannya berdalih rasa kepo sebab terlampau gabut.

"Hen'na koto iwanaide!"

Julian sangat kenal suara yang barusan berbicara. Suara berat dengan artikulasi sempurna, namun tidak serak. Terdengar menekan dan terkesan otoriter, pun seperti warna suara pria sebayanya. Itu jelas suara Luis.

"Dare mo watashi no musuko a wazurawa seru koto wa dekimasen."

Julian mengerjap lamban, bertanya pada diri sendiri. Bukan tak mengerti, tapi mempertanyakan siapa yang pria itu ajak bicara hingga nada bicaranya terkesan protektif dan penuh penekanan. Terdengar bagai induk yang tengah melindungi anak-anaknya.

"Jangan mengatakan hal yang aneh."

"Tidak seorangpun bisa mengganggu putraku."

Kemudian, Julian tetap tak membalikkan tubuhnya sewaktu derit pintu yang terbuka mendistraksi telinga.

The Silent Truth Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang