🌱Part 35

270 45 18
                                    

•🌱Selamat Membaca🌱•

Senin pagi.

Setelah sekian lama, pemuda berkulit pucat itu akhirnya kembali menginjak halaman sekolahnya sendiri. Ini juga kali pertamanya menghidu atmosfer di tempat yang bukan sekitar mansion. Grand Prima pun tidak berubah, tetap sama seperti terakhir kali ia perhatikan.

Beberapa pasang mata tertangkap basah meliriknya dengan wajah sedikit kaget. Tatapan rumit begitu jelas terpancar dari mata mereka. Julian tahu mereka mengenalnya, namun tidak sebaliknya. Setelah kehilangan misterius itu, dipastikan nama cowok itu akan semakin meluas dikenal.

Mungkin yang mereka pertanyakan, bagaimana bisa anak itu kembali setelah sekian lama menghilang?

"Lo—"

Sampai di depan kelas, orang yang ia kenal nampak terkejut hebat hingga memegang dadanya. Derlyn Danuarta, melotot penuh tanda tanya, mungkin saja sebentar lagi akan terjatuh sebelum kejang-kejang. Saking terkejutnya.

"Iya, ini gue. Julian."

Dramatisnya, cowok dengan bentuk mata unik itu menepuk-nepuk kuat pipinya sendiri agar sadar bahwa yang ia alami sekarang bukanlah sekadar sebuah bunga tidur. Masih sama lancangnya sewaktu ikut menepuk pipi Julian dengan kekuatan yang setara.

"Anj***! Punya temen drama amat," Julian mengaduh membuat Derlyn percaya bahwa kejadian ini adalah nyata. Sangat amat nyata tanpa sedikitpun sisi fatamorgana.

"Lo... kemana aja?!" Anak itu histeris tanpa menangis. Mengguncang bahu Julian hingga anak itu spontan menggulir netra birunya, sudah kelewat jengah.

"Lo bisa lihat sendiri. Gue... habis kecelakaan."

Seisi kelas yang tadinya penuh dengan beragam reaksi keterkejutan mendadak bungkam. Tak ada yang bersuara. Perkataan itu mempertegas dan meyakinkan bahwa yang sempat mereka lihat sekilas memang benar, bukti paling jelas bahwa anak itu telah mengalami kecelakaan yang menjadi alasan dibalik semua yang terjadi.

Sebuah kruk, lalu sebelah kaki yang di-gips.

"Gue... nggak mau tau! Ceritain semuanya, sekarang atau nanti."

Derlyn menyeret perlahan anak itu untuk mengikuti langkahnya, menuju bangku mereka. Mengundang banyak kaki lainnya untuk ikut dan mendekat. Mereka teman-teman Julian yang kepo sekaligus rindu dengan kawan satu kelas yang selama lebih dari dua bulan ini menghilang tanpa jejak.

"Lo inget terakhir kali kita masih sama-sama nggak, Lin? Waktu itu, gue bilang gue mau kumpulan bareng temen lama gue ke Dojang." Julian memulai ceritanya.

Satu kelas benar-benar heboh mengelilingi kedua pemuda itu, namun tidak ada satupun yang berisik. Rasa kepo, rindu, tak percaya, sampai bingung berputar dalam kepala mereka. Begitu berisik dengan gerakan bibir yang kelu.

"Malemnya, gue ditabrak mobil."

"Kaki gue patah, tengkorak gue juga retak, pendarahan parah."

Bocah itu memulai aktingnya dengan mulus. Karangannya yang tak pernah sekalipun terjadi itu sudah ia rencanakan dengan apik dalam skenario kepala. Sejak lama. Itu pula alasan mengapa ia bersikukuh tak mau melepas gips di kaki meskipun dokter sudah memperbolehkan. Ia membiarkan Luis atau siapa saja dibuat bingung olehnya.

Nyatanya, pada hari inilah gips itu sangat berguna. Menopang semua kebohongan besar yang ia ucapkan dari bibir ranumnya.

"Bekas luka lo yang di kepala itu..."

Julian mengangguk mantap, "Ho'oh, bekas jahitannya."

Semua disana menatap iba.

"Gue nggak bisa cepet balik, karena kritis."

The Silent Truth Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang