•🌱Selamat Membaca🌱•
Sudah hampir enam hari bergulir, di sebuah sore temaram selepas hujan. Seperti pada beberapa waktu belakangan, nampaknya cuaca masih berubah-ubah tak menentu layaknya perasaan seorang wanita.
Langit yang sendu mendukung Julian yang berkutat dengan banyak hal dalam luasnya ruang kepala. Ia duduk di balkon kamar, bersanding dengan sepiring martabak berisi ketan hitam yang manis dan gurih. Tak lupa, secangkir teh hijau menjadi penyempurna suasana.
Semuanya telah terlewati dengan mulus. Pada penyelenggaraan Olimpiade tahunan itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari sosok Julian. Ia benar-benar melewati semuanya bersama jiwa yang tenang. Dan yang luar biasa, perjuangannya selama satu bulan penuh telah disambut hasil yang begitu manis.
Ia menyabet gelar juara pertama.
Dari 196 orang peserta yang mewakili daerah juga sekolah, ia menjadi pemenang utama yang mengungguli mereka semua. Meskipun begitu, entah mengapa Julian tidak mampu sedikitpun merasa jumawa. Mereka—196 orang, beberapa diantaranya mungkin telah memperjuangkan semuanya jauh lebih keras darinya. Berharap, dan berlatih lebih keras hingga pada akhirnya hanya bisa menelan sebuah rasa kekecewaan yang besar. Lalu, sebagian yang lain mungkin merupakan siswa-siswi yang sebenarnya jauh lebih pintar juga cerdas darinya dalam berbagai hal.
Selain itu, ada beberapa nama yang juga sukses membawa serta sebuah kemenangan bersama kepulangan mereka. Juan untuk juara satu pada perlombaan seni lukis, Derlyn yang meraih juara ketiga, juga seorang siswa kelas IPS 1 yang mendapat juara pertama untuk Olimpiade Sejarah.
Dan selepas itu semua, mungkin Julian akan sesekali merindukan masa-masa dimana ia berlatih mempersiapkan semuanya. Mengingat sampai lupa, lalu bagaimana ia bersama teman barunya itu menghabiskan waktu hanya untuk mendiskusikan banyak materi.
"Hah..."
Sekarang, pemuda itu nampak seperti seorang Bapak-Bapak yang sedang ngopi sore sembari sibuk memikirkan tagihan, atau nasib hidupnya.
Di telapak tangannya, ada foto Ayah dan Ibunya tak henti-henti ia pandangi.
Dibalik bingkai persegi panjang tanpa ukiran itu, foto keduanya nampak hangat dan manis. Foto pernikahan yang digelar di Jepang, selaku negara kelahiran Ayahnya. Di waktu itu, mereka bahkan rela menggelar pernikahan di dua negara secara terpisah. Sebagai akibat dari pernikahan yang dibentengi dengan banyaknya perbedaan; terutama ras, budaya, dan negara.
Raya nampak sangat cantik dalam balutan gaun tradisional berwarna putih gading. Rautnya yang begitu anggun sampai tak mampu menutupi raut kebahagiaan yang begitu kentara tercetak di wajahnya.
Kemudian, sama seperti Raya, Kenzo pun terkesan gagah mengenakan pakaian tradisional yang sama. Kimono berwarna hitam yang serasi dengan sang istri. Seperti Ibunya yang di suatu foto lain sangat kharismatik dalam balutan kebaya, di foto inipun wibawa sang Ayah nampak menyatu dengan busana Kimono sebagai pakaian adat negara kelahirannya. Seolah-olah, pakaian-pakaian itu dapat mengerti bahwa ia berhak memilih, pada siapa ia akan terlihat cocok serta layak bersanding.
Julian merindukan mereka.
"Liat Bund, Yah. Noh, Julian bawa pulang satu lagi kejuaraan tau."
Ucapnya lembut, mengusap pigura dalam genggamannya. Usai memperlihatkan sebuah sertifikat kejuaraan Olimpiade terkait yang belum lama dilaminating.
"Sekali-kalo datenglah ke mimpi Lian. Memangnya anak mana yang nggak bakal kangen setelah bertahun-tahun ditinggal? Nggak ada toh?"
"Semua anak tuh sebenernya sama. Kita berusaha tegar cuma biar nggak kelihatan kalo lagi ngerasa kangen-kangennya ke orang tua."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Silent Truth
Teen FictionAnak yang tertukar? Bak sebuah serial drama kolosal, Julian tidak pernah menyangka bahwa garis takdirnya akan menjadi selucu ini. "Masalah hidup gue aja udah bikin gue senep. Terus ditambahin drama-drama begini nih, hm... mantep." "Muntah aja lah...