•🌱Selamat Membaca🌱•
Jakarta pagi ini nampak sedikit mendung. Julian tahu, itu bukan disebabkan oleh awan, melainkan polusi. Yang akhir-akhir ini memang menjadi problema utama Ibukota. Yang konon, membuat para pemerintah setempat mati-matian memutar otak untuk mencari tahu penyebabnya lebih akurat, juga sepaket dengan solusinya.
Ketika pemerintah disana sedang gencar-gencarnya mencari solusi paling solutif, di sisi lain, seorang pemuda di rumahnya justru tengah menyandarkan tubuhnya di sofa. Bersantai sepenuhnya di hari libur. Membuka semua pintu dan tirai hanya untuk membiarkan semilir angin segar nan sepoi-sepoi itu menelusup ke pori-pori kulitnya—menciptakan rasa dingin yang masih bisa ditolerir.
Kemarin, Julian bahkan sampai melewatkan setitik euforia bahwa seonggok Kartu Tanda Penduduk secara resmi telah ia kantongi. Tujuh belas tahun berlalu dalam beberapa bulan belakangan, dan ia telah mengurus benda itu meski sedikit terlambat. Tanda bahwa ia telah sah, menjadi orang dewasa secara hukum di negeri ini. Tanda bahwa secara hukum, ia telah legal melakukan segala sesuatu sendiri dan mandiri. Sah untuk menerima konsekuensi dari setiap tindakan yang dilakukan.
"Ganteng banget muka gue." bisiknya tersenyum jumawa.
Di foto itu, ia mengenakan kemeja putih. Rambutnya tertata rapi dan wajahnya terlihat begitu simetris. Netranya yang tajam dan sebiru samudra terlihat cukup mencolok di kamera. Sejujurnya, Julian terlihat tampan disana.
Kembali, Julian memperhatikan setiap detail dari KTP miliknya. Lahir di Ibukota Singapura pada bulan Juli tepat tujuh belas tahun yang lalu, kemudian tumbuh besar dan memiliki alamat tetap di Jakarta.
Tidak ada satu hal pun yang seharusnya menarik perhatian Julian, kecuali pada penulisan golongan darah miliknya. Disana tertera golongan O, positif. Sementara itu, dalam sepersekian detik, ia menyadari bahwa golongan darah milik Ayah dan Ibunya bukanlah golongan O. Ya, seingatnya bukan.
Jadi demi memastikan semuanya, ia rela bolak-balik ke kamar kosong milik kedua orang tuanya hanya untuk mengambil dokumen identitas mereka, lebih tepatnya KTP. Lalu beberapa lembar surat usang berisi pernyataan resmi rumah sakit mengenai golongan darah Ibu atau Ayahnya.
Benar. Firasatnya tidak salah.
Golongan darah yang dimilik Ayahnya adalah A positif, sementara milik Ibunya adalah AB negatif. Keduanya tidak ada yang menurunkan golongan darah O padanya.
Julian mengulum bibir. Ia tahu baik bahwa golongan darah seorang anak akan diturunkan dari Ayah atau Ibu kandungnya. Sementara kakek atau nenek yang memiliki golongan darah berbeda pun tidak atau bahkan mustahil menurunkannya pada sang cucu. Kecuali itu terjadi persis seperti judul sinetron, Cucuku adalah Anak Kandungku.
Kesalahan rumah sakit? Sayangnya, bukan. Banyaknya bukti berupa surat pernyataan dari beberapa rumah sakit sekaligus klinik yang menyatakan; hasil cek darah Ibu atau Ayahnya adalah golongan darah yang sama dengan yang tertera di KTP.
Julian terkekeh, batinnya benar-benar tidak menyangka. Mungkin, benar. Yang pertama warna kulit, kedua warna kornea, lalu sekarang berakhir dengan perbedaan golongan darah. Semua rupa kejanggalan yang ia temukan pada perbedaan fisik antara ia dan Ayah Ibunya seperti memang bukan tanpa alasan. Mungkin, memang benar ia bukanlah anak biologis keduanya. Entah ia sendiri harus percaya atau tidak, tapi semua bukti memang tidak akan bisa membohongi.
Ibunya berselingkuh?
Sang Ayah membawa dirinya sebagai putra sang selingkuhan?
Atau mereka mengadopsi dirinya sebagai anak?
Rasa-rasanya tidak mungkin, namun semuanya tentu masuk akal.
Kepalanya carut marut memikirkan semua itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Silent Truth
Fiksi RemajaAnak yang tertukar? Bak sebuah serial drama kolosal, Julian tidak pernah menyangka bahwa garis takdirnya akan menjadi selucu ini. "Masalah hidup gue aja udah bikin gue senep. Terus ditambahin drama-drama begini nih, hm... mantep." "Muntah aja lah...