🌱Part 11

302 38 0
                                    

•🌱Selamat Membaca🌱•

Julian memandang dengan arti tatapan tidak percaya. Di depannya, gerbang dari sebuah rumah besar nampak begitu dingin dan memukau disaat yang sama. Rumah bergaya Eropa klasik dua lantai itu tidak akan menarik perhatiannya kalau bukanlah rumah yang menjadi akhir persinggahan gadis itu.

Hara.

Tersebarnya patung mitologi, air mancur, lalu pilar-pilar besar klasik dan nyaris semuanya didominasi warna putih membuat orang-orang tak perlu berpikir dua kali bahwa si pemilik memang termasuk dalam golongan sendok emas. Mungkin, keluarga orang tua gadis itu memang keturunan asli atau hanya sekedar terobsesi pada gaya bangunan di Eropa.

"Gue nggak pernah ngira kalo rumahnya Hara bakal semewah dan semahal ini."

Derlyn berdecak kagum. Sama kagumnya seperti Julian ketika memperhatikan setiap sudut ornamen bangunan tua itu.

"Ayo, Le."

Derlyn mantap kembali melangkahkan kakinya. Membuat Julian mau tak mau harus kembali menyusul dan mensejajarkan langkah keduanya agar tak tertinggal terlalu jauh. Memperhatikan setiap sudut perumahan tempat tinggal Hara yang begitu familiar, sebab sangat mirip dengan blok dimana rumah Derlyn berada.

"Kenapa lo nggak ikut masuk, Le? Siapa tau bakal dikenalin sama Nyokap Bokapnya."

Derlyn terpikirkan sesuatu. Ia menepuk pundak Julian, seolah menyalurkan semangat sesama kaum jantan lewat hal itu.

"Dikenalin."

"Habis tu diusir."

Hanya dengan begitu, membuat sang sahabat mengerti bahwa ia lantas dilanda rasa minder yang dalam. Julian tersenyum sumir.

Nyatanya, dirinya sempat mengira bahwa latar belakang gadis itu tak akan mungkin berarti apa-apa bagi perasaannya. Namun, Julian telah salah. Baru sekarang ia tersadar kalau gadis bernama Hera Hanara terlalu jauh berada diatasnya. Ia layaknya sebongkah berlian mentah yang hanya perlu dipoles sedikit lagi untuk menjadi berlian yang sempurna dan begitu mahal. Sementara Julian, merasa bahwa dirinya bahkan tidak bisa disandingkan dengan mentahan sekeping emas yang telah terkubur ribuan tahun lamanya.

Hara orang kaya. Sementara Julian hanya 'pernah' menjadi orang kaya.

"Le, Le. Lo ngeliat nggak, tuh bocil ngeliatin lo terus sampe matanya nggak ngedip."

"Itu karena muka lo kaya kancut, Yan."

Ucapan Derlyn membuat Julian tersentak. Dalam sepersekian detik kepalanya memutar ke samping, dimana berada seorang anak laki-laki memperhatikannya begitu intens. Sudah jelas, anak laki-laki itu memperhatikan Julian sebab terpana akan ketampanannya yang elok. Dan entah kenapa Julian bisa sepercaya diri itu.

"Kurang ajar. Sini nggak lo!"

Ia menangkup kerah belakang Derlyn, menggeplak pelan bagian belakang kepala cowok itu hingga ia mengaduh.

"Gue ganteng, makanya tuh bocil sampe nggak kedip. Paham lo, Skrintil?"

"Cocotmu mesti tak amplas."

Hanya dengan begitu, keduanya terkekeh renyah.

Langkah keduanya semakin dekat membawa mereka kepada rumah masing-masing. Sore yang indah dan hangat sangat mendukung perjalanan pulang ke rumah yang hanya dengan bermodal kedua kaki. Beberapa kali melewati jalan berbelok, beberapa kali pula melewati kereta berisi bayi yang dibawa Ayah Ibunya berjalan-jalan di depan rumah. Seolah semua orang sepakat bahwa sore di hari itu memang waktu yang pas untuk sekedar beraktivitas santai di depan rumah.

The Silent Truth Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang