🌱Part 18

244 33 0
                                    

•🌱Selamat Membaca🌱•

Minggu ketiga pada bulan Maret.

Ajang Olimpiade dan turnamen tahunan hanya menyisakan lima hari bagi para peserta untuk berlatih semaksimal yang mereka mampu.

Di rumah mendiang orang tua Julian, ketiga pemuda itu berkumpul. Si tuan rumah, Derlyn, dan juga Vian. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing meskipun pada awalnya datang dengan tujuan yang serupa.

Derlyn, cowok itu tengah sibuk mengoleskan sebagian kulit tubuhnya dengan gel lidah buaya. Kulitnya cukup memerah tomat dan terasa terbakar bukan main—alias sunburn. Efek sehari lalu, ia menggempur habis-habisan kemampuan renangnya di kolam renang outdoor. Dari pagi, hingga siang bolong yang terik. Tidak sadar bahwa sunblock yang ia kenakan sekujur kulit sudah tidak lagi berefek melindungi.

Sampai Julian sesekali juga ikut-ikutan meringis ketika cowok itu meringis pedih.

"Udah berapa kali lo kompres pake air dingin?"

Julian bertanya.

"Baru tiga kali sih, sama ini."

Yang dijawab Derlyn sembari melirik mangkuk kaca besar berisi air es dan handuk bekas kompresan kulitnya. Sedikit berbangga diri. Karena luka bakar akibat sengatan mentari ini merupakan bentuk kerasnya perjuangan Derlyn dalam mempersiapkan perlombaan tersebut. Usaha kerasnya untuk menjaga kepercayaan pihak sekolah, telah menunjuknya sebagai salah satu perwakilan. Entah pada akhirnya ia mampu menyabet sebuah gelar juara atau tidak.

"Gue ada rekomen salep luka sunburn nih. Baca gih."

Vian yang berkutat dengan buku berceletuk, menyodorkan ponselnya pada Derlyn. Membuat Derlyn lantas berterima kasih sambil mengingat-ngingat merek salep di foto untuk kemudian ia cari di apotek terdekat.

Sedangkan Julian, hanya rebahan menatap langit-langit plafon. Ia bukannya melamun dengan pikiran kosong. Melainkan semua sudut di ruang kepalanya seolah telah terisi oleh materi Biologi. Dari kelas satu Sekolah Dasar sampai ke jenjang Menengah Atas. Sama seperti Derlyn yang melatih fisiknya sekuat tenaga, maka Julian pun rela memaksakan otaknya untuk memuat materi juga kisi-kisi. Sampai dampaknya, ia sering melupakan banyak hal sepele yang tidak seharusnya.

Pun tidak jauh berbeda dengan Vian. Pemuda itu bahkan sampai mencari tahu dan rela menyewa jasa guru daring terbaik untuk membantunya dalam materi-materi yang belum juga ia kuasai.

Terlepas dari apapun hasilnya dan bagaimanapun akhirnya, semua telah berusaha sama kerasnya. Meski dengan melewati jalan dan cara yang berbeda.

"Lo tau? Belajar Biologi tuh bikin gue ngerasa jadi calon dokter." Vian berceletuk dengan raut malas. Ia mengunyah kue bulan yang Julian hidangkan dengan gerakan yang sama malasnya. Pagi, siang, petang, sore, atau malam. Ia pergunakan untuk mempelajari materi pelajaran entah Biologi atau yang lainnya.

Gumoh dikit nggak ngaruh.

Katanya dalam hati.

"Pas bagian anatomi, iya banget. Berasa dikasih kisi-kisi masuk Kedokteran Harvard." timpal Julian tak niat. Melirik Derlyn yang kini menyeruput sebotol susu pisang yang ia beli dalam perjalanan kemari. Cowok itu rebahan sesuka hati, dan hanya membiarkan setangkai sedotan berbentuk L bekerja untuknya.

"Lo minum kaya orang sakit, Lin." sinisnya, terlanjur kesal pada aksi cowok itu.

Sedangkan si pelaku hanya tergelak, tetap melanjutkan aksinya yang menyebalkan di mata yang lain.

"Lebih ke orang lumpuh, sih." koreksi Vian sarkas semakin membuat tawa Derlyn menjadi lebih lantang. Bukan hanya Derlyn, sebab Julian juga spontan tergelak dengan pelan.

The Silent Truth Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang