🌱Part 33

419 42 19
                                    

•🌱Selamat Membaca🌱•

"Aku mau sekolah."

Saat itu, suaranya terdengar lantang menggema hingga sudut ruangan. Julian berucap yakin, sorot matanya pun sekokoh baja.

Luis hanya menaikkan satu sudut bibirnya, geli. Keberanian pemuda itu dalam beradu pandang dengannya tanpa gentar apalagi dengan angkuh patut ia apresiasi. Sangat berbeda dengan satu lagi putranya yang satu lagi—Juan— yang takkan berani melakukan hal semacam itu.

Anak ini benar-benar duplikatnya.

"Pikirkan lagi."

Di ruangan kerja penuh kesan kuno ini, Julian terduduk dengan perasaan campur aduk. Sepertinya, mengatakan permintaannya sekarang adalah waktu yang salah, karena raut wajah aristokrat milik pria itu justru nampak sangat keras dan tak bersahabat bahkan sebelum kedatangannya.

Sebulan.

Lebih dari sebulan tinggal di rumah ini membuat Julian mulai paham bagaimana arus kehidupan di dalamnya. Ia jadi tahu banyak hal. Namun yang luar biasa, semakin banyak yang ia tahu, kian banyak hal yang tak ia mengerti. Lebih tepatnya, Julian sendiri yang tak ingin mengerti. Semakin ia mengelak, rasanya perkataan Trisha malam itu jadi semakin terasa benar.

Keluarga ini berada diluar batas normal.

Faktanya, Julian ternyata terlahir dari darah seorang mafia di abad ini.

Bukankah begitu?

Sosoknya memiliki nama yang jauh lebih besar daripada yang Julian bayangkan.

Dan kekuasaannya?

Jauh lebih luas dari sekedar memerintah orang-orang di rumah ini dengan sesuka hati.

Anak mana yang takkan terkejut ketika tahu Ayahnya menjadi orang-orang dengan pengaruh besar dibalik layar— termasuk berurusan dengan Taliban, pemerasan para pemimpin negara, alasan dibalik konflik peperangan, dan isu dunia?

Bahkan organisasi sebesar PBB seolah hanya menjadi perantara kemauan pria itu.

Sial.

Ketimbang beruntung, Julian yakin Juan lebih sial darinya. Ia terjebak di keluarga kaya tanpa bisa melakukan apa-apa. Persis seekor burung dalam sangkar emas yang mewah dan besar. Itu lebih buruk, daripada menjalani hidup di keluarga yang biasa saja namun penuh cinta seperti Julian sebelumnya.

Lantas begitu saja, ia merindukan seluruh kehidupannya yang dulu. Keluarga yang hangat, dan selalu membalut jiwanya dalam penuh kasih. Teman-temannya, gebetan picisan, kebebasannya. Benar. Kebebasan adalah hal yang sangat mustahil ia rengkuh di rumah ini.

Setidaknya, dulu kehidupannya begitu normal. Dan harusnya pun Juan yang ada di posisinya untuk menikmati segala hal yang menjadi miliknya.

"Hm. I've done."

"Itu," Luis menunjuk kearah kaki Julian yang masih terbalut gips dengan tiba-tiba.

"Masih belum pulih. Jadi, just keep it in your mind. Daddy tidak izinkan."

Julian mengepalkan tangan. Langkah kakinya yang cacat sementara ini bahkan sudah mulai sempurna seperti sejak awal. Tidakkah itu cukup meyakinkannya?

Atau, apa maksudnya pria itu tidak membiarkannya memiliki otoritas pada tubuh sendiri, begitukah?

"I don't even fucking care. Kakiku udah sembuh, bisa jalan normal, dan Daddy nggak ada hak buat larang itu." tekannya dengan menggebu-gebu.

Hening.

Luis tidak merespon, tetapi siapapun tahu, raut wajahnya mulai berubah. Yang tadinya sekeras batu, kini mampu digambarkan menjadi sekeras baja. Perkataannya lambat laun memancing emosi Luis. Bocah ingusan selaku putranya itu takkan tahu bahwa ada kobaran amarah yang sejak sore tadi berusaha ia tekan dalam-dalam hanya karena karena seonggok kertas-kertas bertinta yang hilang.

The Silent Truth Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang