🌱Part 23

346 39 15
                                    

•🌱Selamat Membaca🌱•

Senin pagi itu, telah genap dua minggu usai Julian Ryuzantha dinyatakan menghilang. Selama itu pula, sudah cukup banyak hal yang terjadi.

Kepolisian telah menyerah untuk membantu mencari. Sosial media pun belum mampu menunjukkan kekuatannya lewat jari-jari netizen. Bahkan meminta sedikit bantuan petugas imigrasi pun tidak membuahkan hasil—mereka tidak menemukan riwayat perjalanan dan penerbangan seorang pemuda bernama Julian.

Semuanya gagal.

Pemuda bermata sebiru safir itu benar-benar menghilang bagai ditelan bumi.

Selama dua minggu itu pula, Adrian sedikit mengkhawatirkan putranya yang hari demi hari mengalami kesulitan. Sahabat yang biasa menemaninya dalam banyak hal menghilang secara tiba-tiba, siapa yang takkan cemas? Dengan berbagai ketakutan pada banyaknya skenario yang bisa saja terjadi pada sang sahabat, Adrian paham dan mengerti. Putranya jelas sedang terhunus oleh beban pikirannya sendiri. Dan sayangnya, itu berdampak pada kesehatannya yang mulai menurun.

Pada akhirnya, Adrian memaksa putranya untuk berkonsultasi langsung pada seorang dokter. Sekaligus meminta medical check up rutin yang biasanya dilakukan dalam dua bulan sekali.

"Papa tunggu diluar, oke?"

"He'em."

Adrian menutup pintu ruang radiologi dengan perlahan. Meninggalkan putranya di dalam sana untuk menjalankan beragam tes medis adalah bukan kali pertamanya.

Lalu, berjalan-jalan menjauhi ruang tersebut demi menemukan ruangan lain yang bisa ia jadikan sebagai tempat menunggu. Pakaiannya yang masih tetap setelan dengan jas tersampir di lengan adalah bukti bahwa ia sampai bolos kerja demi mendampingi putra sulungnya ke rumah sakit ini. Lalu, putra bungsunya juga sejak tadi memang tengah asyik menyelami mimpi dalam gendongan koalanya. Makin nyaman kala ia usap-usap punggungnya setiap saat.

Tungkainya melangkah teratur pada salah satu lorong rumah sakit. Koridor yang mengarah pada kafetaria rumah sakit, ia tahu. Sebab rumah sakit D'Arma yang besar ini juga pernah beberapa kali ia kunjungi. Rumah sakit swasta milik satu keluarga yang sampai sekarang pun fasilitasnya tak bisa diragukan.

Drtt... Drtt...

Ponselnya bergetar tanda panggilan masuk. Dari sekretarisnya di kantor. Sebagai bentuk kompensasi akan kepergiannya begitu saja, Adrian rasa ia harus tetap bertanggung jawab mengurusi pekerjaannya yang masih menumpuk di seberang sana. Jadi, panggilan itu tetap ia angkat meskipun harus sambil menggendong sang buah hati, juga sambil melangkahkan kakinya mencari kursi.

"Ya?"

"..."

Melawati koridor tersebut, Adrian sedikit mengernyit aneh begitu netra gelapnya sadar akan banyaknya pria berjas sepertinya yang berdiri kaku memenuhi hampir sepanjang koridor.

Mereka berjumlah—Adrian terlalu malas menghitungnya, berbaris di depan sebuah pintu ruangan ICU. Tidak mau mengambil pusing, tapi pembicaraan yang diperantarai seonggok telepon itu tanpa sadar membuatnya berhenti melangkah. Tepat di depan ruangan tersebut, juga di depan mereka—yang ia tebak merupakan pengawal pribadi.

Entah sosok manusia macam apa yang tengah mereka jaga sekarang ini. Tapi jujur Adrian sama sekali tak peduli. Rekan-rekan kerja dalam lingkup pekerjaannya pun begitu banyak yang menggunakan jasa para pengawal—tentu untuk menjauhkan mereka dari marabahaya.

"Memangnya yang itu nggak bisa kamu handle gitu, hm?"

"..."

Sambil berbicara, tak sadar pula kakinya mulai melangkah dengan perlahan. Adrian juga sama sekali tak mampu mencegah obsidiannya untuk tak melirik pemandangan sekelilingnya ini. Kesal sedikit, sebab koridor ini juga termasuk akses umum dan para pria itu bisa dibilang seakan mengintimidasi orang-orang yang ingin lewat dengan tubuh-tubuh besar mereka yang luar biasa.

The Silent Truth Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang