•🌱Selamat Membaca🌱•
Dinding-dinding ruangan memantulkan suara ketukan pantofel yang dikenakan pria itu. Langkahnya tenang, juga teratur. Arlojinya menampilkan pukul satu saat ia pulang ke kediamannya, jadi tak heran jika suasana ruang tamu tidak seramai saat pagi. Hanya ada para penjaga yang senantiasa bersiaga dan menundukkan kepala saat ia tiba, juga dua orang putranya yang disatukan dalam sebuah pembicaraan.
"Apa yang kamu bicarakan?"
Luis masih berdiri dengan tangan di saku, berada di hadapan Davano dan Arthanara. Ketiganya bahkan masih terbalut dalam pakaian kerja yang formal. Dan akan menggantinya hanya jika mereka berniat tidur.
"Bukan apa-apa. Cuma sedikit... rumor."
Artha yang menjawab. Kedua dari tiga saudara kembar. Sebab di 5 menit pertama, yang lahir adalah sosok Davano kecil. Sebelum Artha, kemudian si bungsu Kenzie. Mereka anak tengah yang terlahir memiliki satu orang kakak, juga satu orang adik.
"Lalu, kakakmu? Dimana?"
"Dia di kamar. Mungkin tidur. Juan juga sama."
Lusi mengangguk singkat. Tungkainya lantas membawanya untuk kembali melanjutkan langkah. Meninggalkan kedua putranya yang terdengar melanjutkan kembali obrolan dalam situasi yang cukup dingin dan terkesan canggung. Memang sedikit menggelikan, tapi di rumah ini, situasi semacam itu adalah hal yang sangat biasa.
"Jangan tidur terlalu pagi."
"Baik, Dad."
Tujuannya saat ini adalah kamar putra bungsunya di lantai atas. Membuatnya harus melewati berpuluh-puluh undakan anak tangga hanya agar bisa sampai kesana. Ingin tahu apakah bocah itu telah benar-benar tertidur atau tidak.
"Kenapa belum tidur?"
Luis sadar saat menanyakan hal itu, nada bicaranya sedikit meninggi tanpa sengaja. Pada sosok putra bungsunya yang telah ia dapati tidak berada di ranjangnya. Justru, anak tujuh belas tahun itu nampak termenung di dekat jendela tanpa berniat melakukan apa-apa. Jendela yang menjadi pembatas antara ruang kamarnya dengan balkon.
"Belum ngantuk." jawab Juan, apa adanya.
"Terus, cuma itu yang bisa kamu lakukan sambil nunggu rasa kantuk?"
Juan belum sadar bahwa pria itu bertanya padanya sambil berdiri memperhatikan benda-benda kecil yang menjadi pajangan hias di meja. Sebab rasanya, menatap kemerlap bintang-bintang diantara kelamnya malam lebih menarik daripada menatap wajah sang Ayah yang terlihat tidak pernah melembut saat menatap sesuatu. Entah bagaimana dengan pandangan orang-orang diluar sana, tetapi yang jelas, bagi putranya sendiri sosok Luis memang sangat mengintimidasi.
"Hm. Liat bintang."
"Daddy dengar kamu jadi juara satu di perlombaan itu."
"Selamat."
Mendengar apa yang baru saja diucapkan Luis, pendengaran pemuda itu lantas terdistraksi. Sebuah ucapan yang tak terduga, dan rasanya bagai tersambar petir di siang bolong. Sampai-sampai Juan rela menjilat ludah, berbalik hanya untuk menatap wajah yang mulai termakan usia milik pria itu menampilkan ekspresi setenang danau. Entah malam ini ada angin apa, namun mendengar pria itu mengucapkan sebuah kata apresiasi merupakan hal yang patut dipertanyakan.
"Terima kasih."
Pemuda berpiyama biru itu menunduk sesaat, sebelum kembali menegak.
Juan cukup senang, tetapi jelas tidak akan merasa sesenang anak-anak lainnya ketika setiap usaha mereka dihargai oleh orang tuanya. Mungkinkah karena hatinya terlalu kaku-setelah sekian lama tidak menerima kalimat-kalimat penghargaan semacam itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Silent Truth
Teen FictionAnak yang tertukar? Bak sebuah serial drama kolosal, Julian tidak pernah menyangka bahwa garis takdirnya akan menjadi selucu ini. "Masalah hidup gue aja udah bikin gue senep. Terus ditambahin drama-drama begini nih, hm... mantep." "Muntah aja lah...