Sejauh ini sudah terbiasa hidup sendiri. Disaat semuanya memudar tidak ada hal yang
perlu ditakuti. Dikala semuanya pergi tidak ada rasa takut pada diri. Karena hati sudah terlalu perih untuk berharap pada seseorang
yang bahkan tidak peduli.Kalula termenung.
Menatap kosong sosok di hadapan. Tidak ada rintihan keluar saat kapas putih menyentuh area luka pada leher. Hanya diam, dibunuh oleh pikiran. Berkecamuk menciptakan belitan menyakitkan.
"Kala," panggil Kalula parau, genangan air menumpuk pada kelopak mata. Hendak jatuh namun usapan lembut dari Niskala menghentikannya.
"Mana yang sakit, Lula?" tanya laki-laki itu lembut. Tampak gemetar membersihkan bekas cengkraman memanjang di area leher.
Melemah tidak sanggup menahan desakan air mata. Kalula hanya ingin menangis saat ini, menumpahkan rasa sakit untuk semesta.
"Untuk ke sekian kalinya kamu terluka oleh manusia."
Niskala menarik tubuh dengan penampilan acak-acakan itu masuk dalam dekapan. Nafas tercekat tidak mampu berucap saat isakan kecil Kalula semakin terdengar menyeruak, mengisi kosongnya bilik ruang.
Jika saja terlambat datang apa yang akan terjadi? Bayangan kejadian siang tadi, menyaksikan penyiksaan di depan mata untuk ke sekian kali. Mulut terkatup, mata, dan otak yang merekam. Mengingat setiap gerak tangan yang mendarat pada tubuh tidak bertenaga Kalula.
Umpatan dan cacian tentang keluh kesahnya.
Orang-orang yang hanya ingin dimengerti. Tanpa tahu tentang sakit yang dialami.
"Di bagian mana yang perlu aku obati terlebih dulu? Sudah banyak yang luruh, kan?" tanya Niskala tertawa renyah, semakin mendekap erat tubuh Kalula.
"Rasanya ingin mati."
Kata yang beberapa waktu ini selalu terucap dari bibir Kalula.
"Takut sekolah."
"Sejauh mana lagi bertahan? Diam tidak ada perlawanan, aku tidak diberi kesempatan untuk melawan, satu balasan dibalas puluhan pukulan. Aku menyedihkan, ya?" Keluh kesah beruntut ditujukan pada Niskala yang merespon dengan gelengan pelan.
Saling tatap mengungkapkan kelukaan. Pada kedua manik mata yang memperlihatkan dua tatapan berbeda, penuh luka dan amarah.
"Niskala, sebenarnya jika kesempurnaan memang milik Tuhan, lantas mengapa aku masih dibedakan? Karena pincang." Kalula terkekeh sembari mengusap kedua pipinya kuat, geram dengan cucuran deras air mata.
Ayolah, sudah terbiasa.
"Bukan tidak ada yang ingin menerima, tapi kita hadir pada tempat yang salah, penuh kuasa dan berujung air mata. Bertahan, ya. Demi apa? Diri sendiri untuk tidak mati," tutur Niskala menangkup wajah putus asa.
Terpaksa mengulas senyum. Menatap nanar sosok laki-laki dengan wajah setengah tertutup itu. Entah kenapa, setiap Kalula terluka karena mendapat perlakuan semena-mena di SMANTA, Niskala adalah orang pertama yang selalu mengobati luka-lukanya.
Satu yang menjadi beban, kenapa Niskala tidak datang di saat Kalula dihakimi? Ke mana saat para penguasa itu ada.
"Kamu siapa?" Spontan terucap dari mulut, Kalula hanya bingung tentang kedekatan mereka hanya pada saat seperti ini. Sebatas pertolongan, diobati, dan menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAGEDI 23.59
Teen Fiction"Papa, anakmu dibinatangkan." ~~~ Dia, Kalula. Remaja cacat dengan kaki kiri yang pincang. Bagi Kalula, SMANTA adalah tempat yang paling menakutkan. Menjadi korban perundungan membuat hidupnya berantakan. Tubuh penuh luka. Hati yang gelisah. Akal y...