Pergerakan lembut tidak henti memperbaiki tampilan. Surai rambut yang semulanya berantakan disisir begitu pelan. Mulut dari sosok di hadapan tidak kunjung melunturkan senyuman, penuh teduh yang semakin membuat Kalula tidak mampu menahan. Berusaha tidak mempedulikan, kata yang dituturkan Anka hanya dijawab keheningan.
Benar-benar ingin menjaga jarak. Tetapi, jika seperti ini bagaimana Kalula memperlihatkan sosok baru yang kemarin diucapkan?
Lihatlah, sosok laki-laki manis itu tanpa beban mencurahkan seluruh perhatian. Seolah menganggap perdebatan kemarin hanyalah sebuah pertengkaran kecil yang tidak akan memisahkan.
"Coba senyum, jangan cemberut, jelek!" bisik tepat pada daun telinga mendebarkan dada. Kalula menahan napas saat nyaris hidung Anka menyentuh bagian pipi kanannya.
"Maaf, ya. Buat yang kemarin. Maaf udah nyakitin perasaan kamu, maaf udah buat perasaan itu berharap hingga jatuh dan sulit buat sembuh. Maaf untuk segalanya, Kalula. Tentang kehadiran aku yang tiba-tiba dan seenaknya menorehkan luka," jelas Anka bergetar penuh sesal pada pancaran mata. Membawa Kalula masuk pada rasa putus asa, mengabaikan sesak yang perlahan datang merebak ke seluruh tubuh.
"Maaf, masih belum bisa buat kamu bahagia yang katanya mudah bagi orang-orang."
Kepala menggeleng kecil menahan tumpukan air mata. Mencengkram tangan kiri Anka yang setia mengusap pucuk kepala. Tetap memberikan senyuman yang Kalula suka.
"Kasih aku waktu buat perbaiki kesalahan ini, ya...Biar aku cari jalan keluar dari semua tuntunan yang mengarah." Anka menunduk untuk menatap lebih jelas wajah pucat Kalula akhir-akhir ini.
"Satu hal yang perlu kamu tau. Sedikitpun gak ada rasa untuk Atma, hanya untuk kamu...Kalula," lirih menumpu pada bahu yang bergetar. Anka kembali melabuhkan kepala pada tubuh yang melemah tetapi dengan terbuka merengkuh lelah.
Memejamkan mata dengan tangan yang terangkat mengusap jejak air mata yang turun tanpa suara.
"Rasa suka sama cinta itu beda, La. Aku sama Bang Aksa itu udah sama-sama dari kecil. Pertama kali ke rumah dan ketemu sama Atma, dalam pandangan aku Atma gak lebih dari sosok adik yang harus aku jaga." Kepala Anka mendongak untuk bersitatap dengan mata sayu Kalula yang sentiasa mendengarkan.
"Namanya remaja gak pernah luput dari cinta, kata banyak orang sih. Tapi bagi aku rasa ke Atma itu cuma sebatas ketertarikan lawan jenis semata, kagum beda kan sama cinta?"
Kalula dibuat mengangguk oleh suara rendah Anka. Sudut bibir yang mulai tertarik memunculkan senyuman samar. Juga tidak bisa menolak bahwa masa remaja adalah di mana masa bodohnya karena rasa.
"Kepindahan aku waktu di bangku 2 SMP karena bisnis Ayah mulai berkembang buat kami jarang ketemu. Bang Aksa yang selalu ajak ke rumah buat habisin waktu sama Atma. Kalau gak salah, dekat hari kelulusan aku sempatin singgah di rumah, kosong. Gak ada Atma, Bang Aksa, atau yang lainnya." Anka tersenyum selepas rentetan kata diungkapkan. Menarik napas panjang memberikan jeda sesaat.
"Nyatanya pertemuan pertama kita itu bukan saat kamu buka pintu rumah untuk menjadi penyambut beberapa bulan lalu, namun udah lama, La. Perempuan berkepang dua dengan pita biru cerah yang duduk di sudut ruang tengah. Aku lihat ada kuas dan kanvas menggambarkan bagaimana tentang rasa. Bibir kamu senyum, jari kamu lincah, namun mata kamu penuh air mata. Kenapa? Itu yang menjadi pertanyaan," tutur Anka terengah-engah. Terbawa suasana akan kebingungan tentang isi rumah yang disembunyikan.
"Bang Aksa bilang dia cuma punya satu adik. Buat aku bingung, mau nanya tapi aku takut dia tersinggung. Sampai aku balik ke tanah kelahiran ini lagi, cerita panjang sama Bang Aksa. Tentang kamu," kata Anka tercekat meringis tertahan. Perasaan bersalah menusuk uluh hati terdalam menceritakan alasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAGEDI 23.59
Fiksi Remaja"Papa, anakmu dibinatangkan." ~~~ Dia, Kalula. Remaja cacat dengan kaki kiri yang pincang. Bagi Kalula, SMANTA adalah tempat yang paling menakutkan. Menjadi korban perundungan membuat hidupnya berantakan. Tubuh penuh luka. Hati yang gelisah. Akal y...