Bab 12 [ RUMIT ]

1K 69 5
                                    

Sapuan tisu basah yang membersihkan wajah sesaat membuat Kalula terpejam. Mengulum bibir menahan keluhan ketika kerah seragamnya disingkap pelan. Kemudian tarikan nafas berat disusul decitan kursi membawa Kalula kembali sadar dari lamunan.

Dua sosok perempuan dihadapan menatap Kalula dengan ekspresi berbeda.

"Tubuh lo?" Suara nyaris tidak terdengar, tercekat seolah tidak percaya. Prita menggeleng pelan lalu mengusap wajahnya frustasi.

"Gak pernah lapor BK?" tanya Prita semakin meringis saat Kalula membuka kancing baju putih abu-abu itu, memperlihatkan banyak area lebam pada bagian dada atas.

Kalula diam. Menatap bergantian sosok Prita yang berjalan mondar-mandir dan Aruna yang berdiri bungkam.

"Laporan aku gak pernah didengar, mereka bilang...wajar masih remaja, kan masa-masanya nakal. Jangan, diambil hati, ya!" Tutur Kalula diakhiri kekehan. Masih mengingat begitu jelas pengaduannya sejak tiga bulan menjadi bagian SMANTA.

Penanggung jawab dari masalah yang tercipta mengelak karena beralasan bahwa sebuah kewajaran. Tanpa memikirkan bahwa kenakalan yang menghancurkan ketenangan. Tempat yang seharusnya menjadi pertolongan malah memberikan ancaman.

Sekolah menyimpan banyak keburukan yang dibayar dengan kekuasaan.

"Bu Sena, udah coba?" Aruna berucap tanpa menoleh, membuang muka menyembunyikan raut kesal wajah. Sebenci apapun pada akhirnya pertahanan Aruna goyah, bohong jika hatinya berkata tidak peduli dengan keadaan Kalula.

Bagaimana pun mereka sudah lama bersama.

Gelengan samar menciptakan hembusan nafas berat dari Prita dan Aruna. Posisi mereka sebagai anggota OSIS merupakan kewajiban untuk menjaga ketertiban sekolah. Tindakan bullying yang satu tahun belakangan ini mencuat tidak bisa diatasi. Karena para pelaku merupakan jajaran yang paling disegani.

"Berusaha gak ketemu mereka bisa, kan? Jangan muncul, kehadiran lo yang bikin mereka kepancing," ujar Aruna menatap tegas pada Kalula yang menunduk.

Prita berdeham kecil menyita perhatian. Menggeleng pelan tidak menyetujui ucapan Aruna.

"Gak muncul pun mereka yang datang sendiri. Sikapnya aja yang kayak anjing, cuma berani rame-rame," kesal Prita meluap.

"Sejatinya pembully emang kayak gitu, segerombolan anjing yang menggonggong?" Kalula mengangkat alis kemudian mengulas senyum tipis.

Memilih mengobati beberapa lebam yang baru dengan salep pemberian Prita. Mengenyahkan tatapan intens dari keduanya. Kalula tidak ingin membahas lebih jauh, jika mereka hanya penasaran tanpa kasihan. Itu sungguh membuang-buang waktu. Cukup mengetahui tentang luarnya saja, tidak ada yang bisa Kalula percaya selain diri sendiri. Karena kapan saja, siapapun bisa membuatnya mati.

Tidak ada yang baik dari SMANTA.

Omong kosong.

"Kita cuma bisa bantu ini, Kalula. Gue harap lo lebih waspada. Menurut gue, apa salahnya ngelawan? Lihat lo lemah bikin mereka makin gila. Jangan cuma diem!" Prita berucap pelan, menunggu jawaban Kalula risau. Takut ucapannya menyinggung.

Dan Aruna tampak ikut mengangguk. Sesuai dengan pendapat Prita.

"Coba lawan. Lo juga butuh keadilan, kan?"

TRAGEDI 23.59Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang