Ramai koridor utama SMANTA Kalula susuri. Bisikan dan lirikan sinis selalu menjadi rutinitas dari orang-orang yang merasa hidupnya selalu tinggi. Dengan wajah yang masih pucat tetap berusaha kuat menahan dorongan kecil dari banyak tangan. Entah itu pada bagian kepala maupun bahunya.
Langkah tertatih-tatih itu semakin mencepat saat menangkap keberadaan seseorang yang beberapa akhir ini telah jarang dijumpai. Seperti biasa, dengan penampilan tertutup tanpa memperlihatkan wajah.
"Niskala!" panggil Kalula.
Tidak berhenti, kaki jenjang yang terus menuntun Kalula pada area taman belakang yang pasti sepi pagi ini.
"Kemana aja? Udah jarang kelihatan," ujar Kalula bernada pelan. Melangkah lebih maju lagi, menempatkan posisi tepat di samping tubuh Niskala.
Manik kelam yang memancarkan kesedihan. Tidak tahu kenapa, Kalula turut merasakan. Begitu sayu rasanya ingin merengkuh.
"Acara pensi kemaren, datang kan? Lihat aku gak?" Antusias Kalula terlihat pada wajah yang memerah dan binar pada mata.
Selalu tenang untuk mengekpresikan dirinya saat bersama Niskala. Walaupun, sedikit kata yang diucap.
"Aku menang."
Kalula tersenyum saat terbentuknya garis pada sudut mata Niskala, menandakan ada raut senang dari wajah yang setengah tertutup itu.
"Selamat!" balasan pertama yang terucap membuat Kalula lega.
Tersentak, ekspresi kaget dan mata melotot saat pergerakan tangan Niskala yang menyentuh tengkuk leher belakang, meringis saat luka lebam diusap begitu lembut. Terpintas pada pikiran, dari mana Niskala tahu mengenai luka pada area tertutup? Kalula yang biasanya selalu menguncir rambut layaknya anak kecil, hari ini memilih surai rambut itu terlepas tanpa ikatan. Bukan mencoba penampilan baru namun menutupi luka lebam dan bekas cengkraman kuku.
Turun mengusap bagian punggung dengan pelan.
"Kala, jangan!" Tergagap mengucapkan saat pandangan mata Niskala tidak sekalipun terputus dari wajahnya.
"Kenapa?" Nada serak menciptakan kilatan bingung pada manik Kalula. Menunggu ungkapan Niskala yang terjeda.
"Kenapa tidak seperti orang lain? Kenapa hidup dalam arahan manusia pendosa? Dan kenapa dunia diam saat bagiannya dirusak banyak tangan?"
Mata Kalula terpejam saat usapan pada punggung kembali naik, berhenti pada wajah, jari-jari dingin itu mengusap bagian pelipis dan pucuk kepala bergantian, Kalula tidak bisa menolak. Tubuh seolah menerima.
"Kalula, ayo bersuara!" tutur yang melemah.
Menanggapi dengan senyum lalu membuang muka. Kalula mengerti arah pembicaraan Anka mengenai ketidakadilan hidupnya. Dimana pun terutama dalam lingkup SMANTA.
"Suara aku dibungkam. Oleh uang dan kekuasaan. Dunia aneh, saat ini bukan pengakuan yang dipandang melainkan posisi siapa yang paling di atas merebut perhatian," jawab Kalula mendongak menahan bulir air mata yang mudahnya menumpuk hendak turun.
Bunyi bel pertanda jam pelajaran sudah masuk terdengar samar oleh telinga. Terfokus pada arah pembicaraan yang jika diceritakan tidak ada habisnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
TRAGEDI 23.59
Ficção Adolescente"Papa, anakmu dibinatangkan." ~~~ Dia, Kalula. Remaja cacat dengan kaki kiri yang pincang. Bagi Kalula, SMANTA adalah tempat yang paling menakutkan. Menjadi korban perundungan membuat hidupnya berantakan. Tubuh penuh luka. Hati yang gelisah. Akal y...