Keluh kesah menumpuk mengisi setiap bagian yang tersisa. Menggores tipis-tipis permukaan kulit membentuk luka dan entah kapan kiranya bisa sembuh. Terhitung sudah 5 menit tanpa ada tutur kata yang keluar dari rongga sepasang paruh baya di hadapannya. Berdiri kaku di ujung brankar, memperhatikan dalam kebungkaman.
Mencoba tersenyum.
"Papa," panggil Kalula lemah bergetar, menumpahkan sesak pada sosok yang tidak kunjung mendekat.
"Aku baik." Tidak ada pertanyaan yang ditujukan mengenai keadaan. Mulut sendiri yang ingin berucap, berharap ada secercah kepedulian akan rasanya sebagai orang tua.
Apakah Juna mengetahui dirinya diperlakukan seperti ini?
Posisi sebagai anak yang diabaikan membuat Kalula selalu diam tanpa pengaduan. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berkeluh akan ketidakdilan dunia malah menjadi tempat yang turut menambah luka.
"Kamu terlalu lemah. Cukup lawan, apa salahnya?" Dari sekian banyak kata yang Kalula harapkan kenapa malah rentetan itu yang keluar, mematahkan harapan.
"Anak manja bisa apa?" Sahutan dari sebelah tubuh Juna. Gitta, wanita dengan penampilan yang selalu rapi itu berdecak memperlihatkan raut wajah jengah.
Bingung, untuk menjawab. Alasan Kalula selalu tidak ingin mengadu pada orang-orang tentang keadaannya. Bukan mendapat dukungan tapi malah tuntunan yang mengharuskan diri melawan dan bertahan tanpa ada pegangan.
"Aku gak sekuat itu buat lawan banyak orang, Pa, Ma. Bukan hanya satu tapi hampir semua mulut dan tangan menyentuh. Memaksa aku jatuh, berlutut, merangkak... lalu mengacungkan tangan meminta pertolongan. Anak mu, Pa... anak mu perempuan. Sebanding, kah?" Kalula bertanya dengan napas memburu. Gambaran kelukaan yang dicurahkan pada mata Juna yang berair.
"Kamu pantas diperlakukan seperti itu," tutur Gitta memandang lurus wajah Kalula. Dendam yang tidak pernah hilang karena kedatangan Kalula yang menghancurkan.
"Karma dari Ibu kamu yang menjadi hama di rumah tangga saya. Berharap apa? Dunia tidak menerima orang-orang cacat, itu menjijikkan, Kalula." Menggebu-gebu buncahan emosi yang diperuntukkan untuk anak tidak bersalah. Gitta mengangkat jari, menunjuk tepat pada posisi duduk Kalula.
"Sebuah kewajaran kalau kamu disepelekan."
Kalula balas dengan senyuman kecil. Memang benar, sebuah kenyataan bahwa seseorang yang memilki perbedaan fisik pada umumnya selalu dibedakan. Namun, untuk karma? Tidak. Hanya ada takdir. Dan Gitta, Mama tirinya itu sulit untuk menerima bahwa kehancuran rumah tangganya bukan karena Kalula, tetapi keegoisan Juna.
"Mama selalu seenaknya, ya?" balas Kalula diakhiri tawa kecil dan gelengan kepala, menatap miris.
Hubungan pelik antara ketiga wanita dan satu pria menjadi beban yang tidak akan hilang sebelum ada kata mati, untuk Kalula. Seolah semua kesalahan terletak padanya, tentang bagaimana keretakan dan kejadian belasan tahun lalu terjadi.
"Papa, coba akui. Perbuatan bejat yang buat aku sampai seperti ini." Menatap kaki kiri yang terbalut perban.
"Bukan Ibu aku ataupun Ibu Anggara. Tapi Papa. Papa yang jebak mereka, Papa yang khianatin Mama Gitta, lalu lari seolah gak terjadi apa-apa. Benar, jika hasrat laki-laki selalu menjadi penghancur masa depan perempuan, ketidakpuasan buat Papa mengorbankan kebahagiaan orang. Biadab," tutur kata diselingi isakan, Kalula meremas selimut tipis di pangkuan.

KAMU SEDANG MEMBACA
TRAGEDI 23.59
Teenfikce"Papa, anakmu dibinatangkan." ~~~ Dia, Kalula. Remaja cacat dengan kaki kiri yang pincang. Bagi Kalula, SMANTA adalah tempat yang paling menakutkan. Menjadi korban perundungan membuat hidupnya berantakan. Tubuh penuh luka. Hati yang gelisah. Akal y...