Bab 13 [ JEJAK LUKA UNTUK SANG PENCIPTA ]

688 49 0
                                    

Deru nafas melemah berlinang air mata. Langkah terseok-seok menyusuri keributan rumah, telinga berdenging sesaat satu kanvas menghantam lantai. Berceceran berbagai alat kegemarannya. Cairan berwarna yang mengalir dari pintu kamar disusul gebrakan keras dari dalam ruang berhasil membuat mulut Kalula terbuka.

Memarau menyebut pria berkemeja kusut yang berkacak pinggang. Tatapan mereka beradu terdiam beberapa saat. Sedetik, berubah menajam dan geraman terdengar. Seakan siap menghantam tubuh yang linglung berpijak.

Kamar penuh lukisan itu kacau.

"Pa?" gumam Kalula semakin sesak. Bibir kecil yang bergetar menahan tangis.

"Yang kemaren masih belum cukup? Piala ke sekian kalinya yang Papa rusak. Sekarang?" Tertawa kecil lalu melengah membuang muka.

"Semua yang berkaitan dengan seni adalah hal yang paling saya benci. Ini rumah saya, kamu tidak berhak berbuat seenaknya," jawab Juna lantang, penuh penekanan di setiap kata yang terucap.

Mendekat. Telunjuk Juna terangkat lalu mendorong pelan pelipis Kalula. Memasang wajah remeh dan seringaian kecil.

"Buang-buang waktu. Uang saya bisa kembali dengan puluhan lukisan kamu? Tidak Kalula, tidak!" Juna menendang kembali pintu kamar melampiaskan amarahnya. Terlihat geram ketika bahu Kalula berhasil dicengkeram.

Mengguncang tubuh tidak bertenaga itu. Juna menarik ujung rambut yang terurai, membuat Kalula mendongak menahan perih. Dua manik yang sama-sama menyimpan kesedihan mendalam menyatu di tengah-tengah panasnya pertikaian.

"Papa selalu nyepelehin kesukaan aku. Tolong beri aku ruang buat buktiin kalau ngelukis bisa bikin aku dikenal banyak orang. Bukan anak cacat yang diucap tapi anak hebat, anak Papa Juna," tutur Kalula terengah-engah.

Juna menggeleng.

"Berhasil pun kamu akan selalu dipandang cacat," bisik yang membuat mata Kalula terpejam, memendam nyeri di uluh hati.

"Dan walaupun aku bisa jadi pebisnis seperti Papa, aku juga akan selalu dikenal dengan anak cacat. Kemana pun, jalan apapun yang aku tuju, akhirnya yaa selalu anak cacat, kan? Kenapa Pa?" Tangis Kalula tumpah kemudian menunduk saat cengkraman Juna terlepas.

"Kenapa Papa gak pernah dukung aku? Pengen kayak Atma, selalu Papa turutin apa yang dia mau, aku kapan? Aku anak Papa, aku butuh figur Papa, aku gak punya patokan, aku jatuh pun Papa gak peduli, jadi siapa yang bisa obati semua luka ini?" Kalula menggeleng pelan dengan telunjuk yang mengarah pada dadanya. Memberi tahu pada Juna bahwa tidak ada anak yang baik-baik saja ketika hadirnya disepelekan.

Bungkam.

Juna menegang ketika jari gemetar itu menyusuri area wajah kasarnya. Usapan pada pipi dan berhenti pada mata.

"Kata orang Papa adalah cinta pertama bagi anak perempuannya, tapi bagi aku? Papa yang buat aku patah dan hilang arah. Menyakitkan, Pa. Masa kanak-kanak yang hilang, remaja aku yang tanpa bimbingan dan untuk dewasa nanti, kiranya jadi apa?" Kalula berucap pelan kemudian mundur, mengemas barang yang berceceran.

Isak tangis terdengar saat satu lukisan terdapat bekas robekan memanjang. Karya yang belum utuh itu telah rusak sebelum Kalula menyelesaikannya.

"Sekali lagi saya lihat alat-alat ini di kamar kamu, jangan harap bisa tetap tinggal di rumah ini!" Peringatan Juna membuat Kalula menoleh. Tatapan semakin menyendu dan bibir yang berusaha tersenyum mengiyakan.

TRAGEDI 23.59Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang