Banyak yang masih belum terselesaikan, tapi kenapa rasanya berat untuk sekedar menunggu keadilan. Aneh, perasaan berkecamuk tiap langkah yang terseret mengarah pada tujuan. Sendirian di tengah larut malam, mencari ruang berharap hampa yang mengisi bisa meluap dan merendam amarah yang tidak bisa diperlihatkan.
Dari kecil tanpa teman. Membuat Kalula tidak leluasa mengemukakan, semuanya dipendam hingga membentuk kepribadian tertutup yang hanya bisa diam.
"Ini hanya gak mudah bukan gak mungkin, kan?" Terkekeh saat pertanyaan tersebut keluar.
Jari lentik Kalula terbuka merasakan sisa-sisa rintik hujan yang turun. Bibir tidak henti tersenyum dengan posisi tubuh berhenti di sebuah halte yang tidak jauh dari rumah sakit. Sesuai ucapan Gitta, Mama tirinya. Kalula hanya perlu menunggu jemputan untuk pulang ke rumah.
Namun, setelah melangkah kian kemari dari setengah jam lalu di sekitar area rumah sakit, Kalula juga tidak kunjung mendapati mobil itu. Menarik napas dalam kemudian memilih duduk di trotoar jalan. Ponsel pada genggaman dimainkan untuk menghilangkan kebosanan.
"Sebentar lagi aku ulang tahun."
"Semoga dirayakan, yah! Lebih baik dari sebelumnya," pinta Kalula tersenyum lamat menatap potret satu tahun lalu, merayakan tanpa orang terdekat dan tanpa ucapan selamat.
Objek perempuan berwajah pucat itu pecah saat cahaya lampu mobil menyorot tepat pada posisi tubuh yang duduk. Seorang pria seumuran Juna membuka kaca mobil lalu tersenyum tipis pada Kalula.
"Mari, Nona!"
Ragu untuk masuk. Kalula perhatikan wajah asing yang menjadi suruhan Gitta itu, tidak pernah Kalula temui di rumah sekalipun.
"Suruhan Mama?" Alis Kalula terangkat dengan manik mata yang masih kebingungan. Sedikit mundur saat melihat pergerakan pria berseragam supir itu turun. Membukakan pintu, menyorot perintah pada Kalula yang mengambil gerak mencari nomor Juna.
"Masuk, Nona!" Suara tegas membuat Kalula tersentak.
"Maaf, jika membuat anda ketakutan. Saya memang suruhan Nyonya Gitta, baru satu minggu ini bekerja," tuturnya menjelaskan sembari menunduk, bersalah.
Hawa dingin malam kian menusuk tubuh, belum lagi rintik hujan yang kembali jatuh dengan deras membuat Kalula akhirnya menurut. Memposisikan tubuh dengan baik pada kursi tengah, melirik pada supir yang diperintahkan Gitta dengan penuh selidik.
Getaran pada pangkuan merebut atensi Kalula. Sebuah nomor asing mengirimkan pesan dengan perintah yang kembali memunculkan kecurigaan pada wajah.
Jangan naik!
Kepala terangkat memperhatikan gerak tenang dari pria di depan. Menatap sekitar menilai arah jalan yang tidak Kalula ketahui lalu kembali menatap ponsel yang terhubung dalam sebuah panggilan dari nomor berbeda. Cukup lama dan pada akhirnya Kalula memilih untuk mengangkat panggilan tersebut.
"Halo?" Pelan terucap dari bibir yang mulai bergetar.
Hening menyapa beberapa saat dan menciptakan kerutan samar pada dahi. Hendak menutup panggilan namun suara teriakan di seberang membuat Kalula mengurungkan niat.
"Halo?" Kata yang sama keluar dijawab dengan ungkapan permohonan.
Kalula, tolong!
Menipis bibir mendengar suara yang dikenali. Tubuh semakin menegak dengan alis berkerut masih belum menuntaskan kebingungan. Panggilan tiba-tiba yang meminta pertolongan pada Kalula yang tidak mempunyai kekuasaan.
"Aurora, kenapa?"
Yah, itu Aurora.
Gue takut, tubuh gue disentuh Kalula
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAGEDI 23.59
Teen Fiction"Papa, anakmu dibinatangkan." ~~~ Dia, Kalula. Remaja cacat dengan kaki kiri yang pincang. Bagi Kalula, SMANTA adalah tempat yang paling menakutkan. Menjadi korban perundungan membuat hidupnya berantakan. Tubuh penuh luka. Hati yang gelisah. Akal y...