Bab 1 [ KALULA, SMANTA DAN TENTANGNYA ]

3.4K 157 15
                                    

Berbicara tentang takdir, mungkin Tuhan tidak pernah keliru. Akan ada porsi masing-masing, entah itu bahagianya atau sedihnya. Karena Tuhan tahu batasan yang sayangnya diragukan banyak orang. Dunia terlalu angkuh, bersyukur adalah kata yang sering disepelekan. Selalu membicarakan perbandingan padahal dimata Tuhan tidak ada sedikitpun perbedaan.

Fisik yang tidak sempurna.

Cacat yang dijadikan bahan candaan.

Kalula berbeda.

Cara berjalan yang pincang membuat Kalula kerap kali mendapat hinaan. Kondisi yang menyebabkan dirinya dikucilkan. Kalula tidak pernah menyalahkan takdir akan kekurangan yang diberi tapi Kalula kecewa dengan manusia yang tidak mampu menerima seseorang yang lahir dengan kekurangan, mereka malah memilih untuk mencaci-maki.

Seolah Kalula memang pantas untuk direndahkan.

Perempuan dengan ransel biru itu berdiri kaku dengan tatapan mata penuh ketakutan. Jari-jarinya membentuk remasan pada sisi seragam seolah melampiaskan akan kegelisahan. Masih terlalu pagi untuk sekedar mendapat cercaan yang kapan saja bisa melukai hati.

Sekolah itu menakutkan bagi korban perundungan.

Begitu pelan.

Kepala yang menunduk sembari menatap langkah yang selalu menjadi perbincangan. Wajah Kalula memerah dengan mata berkaca-kaca. Sudah hal biasa menjadi pusat cerita yang sayangnya bukan untuk dibanggakan. Apa yang diharapkan dari sosok cacat seperti Kalula?

"Kaki pincang bisa dioperasi gak sih?"

Pertanyaan itu sontak membuat langkah Kalula terhenti. Pandangannya terangkat dengan tubuh bergetar, mulutnya perlahan terbuka untuk mengucapkan kata namun ketakutan yang membuat mulutnya diam tanpa suara.

Tahun kedua berada di SMANTA. Awal yang baru pada tingkat kedua. Satu bulan libur semester tidak membuat isi sekolah berubah, masih sama dengan segala hinaannya.

"Jalan lo lucu Kalula, menarik perhatian. Gak lurus, unik loh." Cibiran dari salah satu sosok gerombolan yang duduk selonjoran di depan kelas membuat Kalula terhenyak.

Seketika suasana koridor kelas sebelas itu ramai. Sorakan diselingi siulan semakin membuat Kalula tidak nyaman.

"Anak pincang yang malang." Lalu gelak tawa kembali terdengar.

Kalula tersenyum. Memilih melanjutkan langkah dan menghiraukan teriakan di belakang tubuhnya. Mencoba tidak peduli walau hati terasa perih. Manusia mana yang tidak terluka ketika kekurangannya dihina? Tolong tunjukkan pada Kalula.

Menarik nafas dalam dengan tatapan jengah. Kedua tangan Kalula mengepal erat dengan bibir yang menipis.

"Halo budak!" sapa perempuan dengan penampilan modis yang berdiri angkuh menghalangi jalan. Pita merah yang terselip pada sisi kepalanya menambah kesan manis namun tidak dengan sikapnya.

Biadab.

Namanya Jemawa. Senior ketiga yang katanya paling disegani seluruh warga sekolah. Anak pengacara dan dokter ahli bedah. Sial, hidup Jema benar-benar sempurna. Tapi otak dan hatinya saja yang tidak berguna. Gila. Tidak waras menurut Kalula.

"Makin cantik ya. Tapi kakinya kok masih sama. Pincang!" celetuk perempuan berwajah jutek di sebelah Jema. Wajah tirus dengan tatapan tajam mematikan itu membuat Kalula meneguk ludah.

TRAGEDI 23.59Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang