Ruang kesenian menjadi tempat yang paling sering Kalula kunjungi semenjak bersekolah di SMANTA. Dari kecil kesukaannya tetap sama, melukis. Bagi Kalula, kanvas adalah tempat terbaik untuk mencurahkan keluh kesah yang tidak terucap.
Otak yang sedari tadi bergelut dengan materi pelajaran terasa kembali tenang hanya dengan menatap berbagai karya lukis yang dipajang. Menghabiskan waktu istirahat di ruang yang sepi pengunjung setiap hari. Ramai hanya ketika ada praktek musik atau sekedar ekskul bagi para siswa.
Kalula menoleh saat pintu masuk terbuka dengan pelan. Lalu sosok laki-laki dengan penampilan khas itu masuk dan berbaur dengan alat musik di belakang tubuh Kalula. Sudah menjadi kebiasaan bagi keduanya bertemu namun tidak saling sapa. Bermula di tahun awal Kalula masuk di SMANTA.
Penampilannya yang paling berbeda di tengah-tengah banyaknya siswa. Hoodie hitam dengan klupuk yang menutup setengah wajah atasnya dan sebuah slayer berwarna senada memang menjadi ciri khas Niskala.
Nama dengan satu suku kata.
Selain kesukaannya tentang seni Kalula juga menyukai Niskala. Bukan orangnya namun keahliannya pada musik. Kalula cukup tahu bahwa piano adalah alat yang paling Niskala sukai. Terbukti saat nada rendah piano mulai mengisi kesunyian ruang seni.
"Kamu keren!"
Niskala pasti mendengarnya namun masih tetap bungkam.
"Ibu aku juga suka main piano, persis kayak kamu. Lagunya juga, sama." Kalula tersenyum lebar dengan tangan yang menopang sisi kepalanya. Mata bulat itu menatap kagum sosok Niskala yang menghentikan kegiatannya tiba-tiba.
Saling tatap dengan perasaan yang berkecamuk.
"Niskala, ini udah lewat 1 tahun. Dan kita masih belum berteman?"
"Kamu suka musik dan aku suka lukis. Kita cocok tahu." Kalula berdiri kemudian mendekat. Sedikit menunduk dan mendekatkan wajahnya pada Niskala, menatap dalam tatapan datar laki-laki dihadapannya. Mencoba menilai seperti apa sosok yang sering menghabiskan waktu istirahat dengannya.
Kalula cengengesan dengan jari yang menggaruk tengkuk belakangnya canggung. Mengambil posisi duduk di sebelah Niskala tanpa meminta persetujuan.
"Leher kamu kenapa?"
Tiga kata itu pertama kalinya terucap dari bibir Niskala semenjak mereka bertemu tahun lalu. Kalula terbengong dengan mata mengerjap lucu. Perasaan senang menggerogoti hatinya saat Niskala mulai membuka diri dan meluangkan suara emasnya itu untuk berbicara dengan Kalula. Ya, walaupun beberapa pertanyaan yang tadi Kalula lontarkan tidak terjawab.
"Ah ini, gatal. Ya, gatal," seru Kalula tampak panik. Kembali menunduk saat menangkap ekspresi meragukan dari mata itu.
Mata Niskala memicing, tidak berubah dan tetap sama. Leher Kalula yang memerah menjadi objeknya saat ini.
"Kamu anak IPS kan? Yang kelasnya nakal-nakal itu lohh."
Niskala bungkam. Kepalanya tidak bergerak ke arah lain. Memandang Kalula dengan tatapan yang berubah, teduh? Sial, jangan sampai Kalula menyalah artikan rasa simpati dari mata Niskala.
Ingat cuma Anka.
Kalula menggeleng dengan mata terpejam. Menghalau gejolak aneh pada dadanya. Kenapa Kalula merasa tidak asing dengan sosok Niskala. Seperti saling bertaut namun hubungan mereka apa? Tidak sedekat itu bahkan untuk sekedar mengenal.
"Mata kamu mirip banget sama Papa, kebetulan ya, mungkin?" Kalula kembali bersuara dengan wajah tidak enak saat Niskala membuang muka.
"Dan mata kamu mirip kayak Ibu aku," jawab Niskala pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAGEDI 23.59
Ficțiune adolescenți"Papa, anakmu dibinatangkan." ~~~ Dia, Kalula. Remaja cacat dengan kaki kiri yang pincang. Bagi Kalula, SMANTA adalah tempat yang paling menakutkan. Menjadi korban perundungan membuat hidupnya berantakan. Tubuh penuh luka. Hati yang gelisah. Akal y...