Hembusan napas panjang keluar dari belahan bibir laki-laki berjaket hitam itu. Telapak tangan menyatu menopang dagu dengan mata tertuju pada wajah pucat yang terlelap. Penampilan berantakan dan kelopak mata yang memberat.
"Lo gak pulang?" Aurora yang berbaring pada sofa di sudut ruang bersuara dengan mata yang masih terpejam. Menunggu jawaban dari mulut Rayden yang terus bungkam semenjak kedatangan satu jam lalu.
"Takut."
Direspons tawa miris oleh Aurora. Bergerak menoleh pada Rayden yang menunduk dengan remasan kuat pada kepala. Melampiaskan kegelisahan yang membuncah. Gambaran takut pada mata yang kentara dan sudut bibir yang terus berkedut menahan kata.
"Gue bisa habis di rumah," keluh remaja laki-laki itu frustasi merebahkan kepala.
"Takut dipukul," lirih bersuara serak membuat Aurora memaksa tubuh yang lelah untuk bangkit. Mendekat, lalu mengusap punggung Rayden pelan. Tidak tahu harus berbuat apa, Aurora hanya bisa menjadi pendengar untuk ke sekian kalinya.
Kesedihan satu sama lain dituangkan dalam keheningan ruang. Luka masing-masing yang tidak diperlihatkan pada orang ramai berhasil menyiksa diri seolah-olah menjadi sosok yang tidak pernah bersedih. Peran dimainkan untuk mengambil perhatian yang selama ini tidak didapatkan.
"Para anak-anak kehilangan jalan," ujar Aurora mencengkram tanpa sadar punggung Rayden yang bergerak tidak beraturan.
Mengungkapkan yang tersimpan.
"Sikap buruk yang menjadi harapan buat bisa diperhatikan, tapi gue salah. Satu menit pun gak pernah mereka luangkan, terlalu sibuk sampai gak ada waktu buat sekedar nanyain, gimana hari ini? Baik? Dari kecil gue gak pernah dapat itu, Ra!" Rayden bercerita dengan mata memerah, remasan kian mengerat pada helaian rambut.
Aurora mencoba melepaskan. Namun, gagal. Hanya bisa memberikan usapan berharap temannya itu tenang.
"Keluarga buruk itu bikin gue rusak. Gue nyakitin orang."
Tercekat menahan tangis, jantung Aurora berdetak cepat saat Rayden mulai menyinggung perbuatan kejam mereka selama dua tahun ini. Menunduk, menekan perasaan bersalah yang terus meluap. Tidak ingin mengakui bahwa kehancuran dari perempuan cacat bersumber pada diri.
Bully.
Mencari sensasi untuk dihormati.
"Kita gak salah," bisik Aurora mengepal erat kedua tangannya.
Membuat Rayden mendongak, sedikit memutar kepala untuk melihat lebih jelas ekspresi keras dari wajah Aurora. Menggeleng seraya bangkit dari kursi besi di sebelah ranjang inap Jema.
"Dia memang cacat, kan? Dia gak sempurna dan pantas dihina. Dari kecil gue dituntut buat serba bisa, gue harus pintar, gue harus cantik, gue harus segalanya. Perintah mutlak Bunda buat gue risih sama tampilan Kalula, dia buruk rupa. Dia aneh, pincang, gue gak suka," cetus Aurora menyamarkan emosi yang semakin naik. Membuang muka tidak ingin menerima tatapan tidak terbaca dari Rayden.
Membingungkan. Karena cacat menjadi alasan mereka lancang menyakiti Kalula. Olok-olokan kata berubah dengan berbagai pukulan pada tubuh lemah. Tarikan usil pada ujung rambut berubah dengan jambakan keras menyakiti kulit kepala. Dan selonjoran kaki yang sering kali membuat Kalula jatuh berubah dengan injakan.
Kejam untuk disaksikan.
"Selain pincang kiranya apa yang buat kita lakuin dia kayak gitu? Bingung. Kenapa rasa bersalah itu muncul saat gue selalu sendiri? Saat tangan udah bikin dia luruh dan gak bisa bangkit lagi? Berulang-ulang sampai gue ketakutan dan pengen mati." Selepas mulut mengucapkan kebingungan hanya keheningan yang menyapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAGEDI 23.59
Jugendliteratur"Papa, anakmu dibinatangkan." ~~~ Dia, Kalula. Remaja cacat dengan kaki kiri yang pincang. Bagi Kalula, SMANTA adalah tempat yang paling menakutkan. Menjadi korban perundungan membuat hidupnya berantakan. Tubuh penuh luka. Hati yang gelisah. Akal y...