Kalula terbengong saat namanya dipanggil sebagai peserta lomba pentas seni. Dahinya berkerut dengan tatapan bingung menatap sekitar. Berjalan ragu ke arah meja panitia yang menunggu kedatangannya. Kalula menunduk kembali menatap kertas pendaftaran di atas meja, memastikan.
"Acaranya di ruang seni nanti, ya! Cuma 1 karya yang dipilih. Silahkan ambil alat lukis lo," kata perempuan dengan almet OSIS itu dengan senyuman manis. Ikut senang akan bakat Kalula.
"Prita?"
Prita mengangguk dengan alis terangkat pertanda bertanya.
"Aku gak pernah daftar buat lomba ini," cicit Kalula pelan, matanya mengabur saat bertatapan dengan sosok Juna yang berdiri disebelah Atma. Tidak jauh dari posisinya berdiri. Pasti keduanya dapat mendengar ucapan Kalula.
Apalagi dengan tatapan tajam Juna seolah memberikan ancaman bahwa Kalula tidak diperbolehkan untuk ikut.
"Ha? Buktinya kemarin karya lukis lo ada di meja panitia. Buat seleksi pertama lo lolos dan hari ini finalnya, lukis sesuai tema yang ditentuin, jangan malu. Gue tau bakat lo di sini, kan? Lukisan lo juga banyak yang bagus, Aruna yang bilang," jelas Pritta menunjuk sosok Aruna yang sibuk merekap berkas nilai lomba yang sudah siap.
Menatap temannya itu dengan ragu. Aruna mengetahui kesukaan Kalula? Tersenyum kecil, ada perasaan senang yang tiba-tiba membuncah pada diri Kalula.
"Bukan gue," tolak Aruna ketus. Melirik kesal pada Kalula.
"Jangan takut! Walaupun lo kalah tapi gak salah buat coba, kan? Gue aja sampai pangling lo, buat seusia kita bisa bikin lukisan sedetail itu, lo berbakat, Kalula." Prita menyemangati dengan tatapan tulus, tampak senang ketika Kalula mengangguk dan mengambil alat lukis yang disediakan.
"Bukannya ngelukis gak terlalu cocok buat pentas seni ya, Kak?"
Pertanyaan Atma membuat mereka saling lirik.
"Ngelukis buang-buang waktu gak sih? Gak seharusnya ada di list lomba," lanjut Atma mencibir bersedekap dada.
"Sombong amat lo!" Nada suara tidak bersahabat dari Aruna membuat mulut Atma terkatup dengan pandangan yang tiba-tiba menunduk. Sedikit mundur, menyembunyikan setengah tubuhnya pada Juna.
"Mulut anak Om gak diajar, ya? Dikira ngelukis gak bakat apa? Merasa paling menarik aja lo." Aruna dengan segala kata pedasnya yang membuat beberapa orang sekitar meringis.
Juna melangkah maju, membaca lembaran yang baru Prita berikan dengan seksama.
"Semua lomba usulannya memang dari kita, tapi sekolah juga ada peran di sini. Keputusan ditangan mereka. Jadi, Atma. Kalau ngelukis buang-buang waktu pihak sekolah gak akan setuju, kan?" Prita tersenyum tipis lalu menunduk sopan saat Juna menatapnya dalam.
"Bersaing secara sehat. Lagian kan kelompok lombanya beda. Lo aja yang takut kalah," imbuh Aruna lagi.
Keduanya saling tatap dengan tajam.
"Udah, Atma ambil nomornya, ya! Papa dukung apapun hasilnya," tutur Juna menenangkan. Sedikit melirik pada sosok Kalula yang berdiri layaknya patung, Juna memberikan ancaman lewat tatapan itu.
Selalu berada dalam tekanan yang membuat Kalula tidak bebas mengekspresikan dirinya untuk lebih dikenal. Dipaksa menekan potensi diri agar Atma dikenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAGEDI 23.59
Fiksi Remaja"Papa, anakmu dibinatangkan." ~~~ Dia, Kalula. Remaja cacat dengan kaki kiri yang pincang. Bagi Kalula, SMANTA adalah tempat yang paling menakutkan. Menjadi korban perundungan membuat hidupnya berantakan. Tubuh penuh luka. Hati yang gelisah. Akal y...