Bab 11 [ 2007 ITU DITIADAKAN ]

713 47 4
                                    

Kenangan yang tidak akan bisa diulang. Detik kelahiran yang umumnya dinantikan berujung penghinaan. Tangis kebahagiaan dilingkupi cercaan. Rengkuhan yang dirindukan berakhir pada sebuah harapan. Hubungan yang sebatas pertanggungjawaban di mata dunia menciptakan kesengsaraan pada anak yang tak berdosa.

Apa itu keluarga bagi Kalula?

Tidak banyak hal yang perlu diingat. Tidak banyak kata untuk menceritakan betapa indahnya rumah kecil itu. Gerak tertahan dan tumbuh dalam tuntunan.

"Dari kecil aku selalu dipaksa untuk mengalah. Dan tentang Ayah yang sekarang dipanggil Papa karena sebuah keanehan peraturan keluarga." Kegiatan melukis itu terhenti sejenak diikuti kekehan kecil mengisi ruang.

"Dulu, aku selalu mikir. Kenapa rumah aku tidak seramai rumah orang lain? Kenapa hanya ada Ibu? Ayah, di mana?" Mata Kalula menerawang pada langit-langit kamar. Mengabur dengan perasaan yang hancur. Hati kecilnya selalu bertanya-tanya tentang peran Ayah.

Anak perempuan mana yang tidak ingin dicintai begitu besar oleh Ayah?

Tangis pelan menguar ke luar kamar. Suasana malam yang hening membuat siapa pun dapat mendengar dengan jelas.

Kalula merintih, mengusap bekas cekikan Juna tadi yang membekas. Ruam merah yang tampak dapat menjelaskan bahwa Kalula benar-benar kesakitan. Dihadapan kanvas besar yang berisi coretan asal, berbelit-belit, tidak berujung dan menggupal. Seperti itu Kalula menggambarkan kesedihannya.

"Kalau tau akhirnya seperti ini aku lebih baik hidup di jalanan. Dari pada rumah megah yang minim akan kemanusiaan. Ayah dan Papa, dia orang yang sama tapi dengan pengucapan tempat yang berbeda. Aku lebih menyukai Ayah,
walaupun keberadaannya tidak tampak setidaknya rasa sakit tidak sedalam ini. Dibandingkan Papa dan Mama Gitta yang tidak memiliki akal, nurani?"

Semua rasa sesak tidak mampu lagi ditahan.

"Kalula, putri mu, Pa!"

"Punya rasa."

"Punya lelah yang ditertawakan banyak orang."

Tanpa ada satu pun yang mengobati. Berdiri, sendiri untuk tidak mati.

"Semesta memang sebercanda itu, ya?"

Hancur yang diperbaiki tanpa disemangati. Semua orang tidak mengerti, hanya pandai menilai tanpa tahu rasa sakit yang dialami.

"Andai sosok itu masih ada. Apakah dia juga akan sehancur ini?"

Kalula menoleh pada jajaran lukisan dekat pintu masuk. Paling atas dengan objek laki-laki yang setengah wajahnya tidak berbentuk. Lukisan yang pertama kali Kalula lukis dan hingga saat ini masih belum selesai, tidak sempurna. Ingatan yang hilang perihal objek laki-laki yang selalu datang di setiap malam. Mengisi dunia mimpi Kalula dengan raungan pertolongan.

"Sebenarnya kami ini bagaimana?"

"Aku dan Dia. Terpisah atau dipisahkan, ya?"

Dahi Kalula membentuk kerutan samar lalu jarinya terangkat menunjukkan area mata lukisan.

"Sebelum tubuh Ibu menjadi abu ada teriakan yang bikin hati aku semakin ragu. Selalu ingat, Putra ku, Putra ku, dan Putra ku."

TRAGEDI 23.59Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang