Bab 33 [ ISTIMEWA YANG DICINTAI ]

643 38 35
                                    

Deru napas memburu dari dua perempuan yang saat ini duduk berhadapan dengan Kalula. Menatap bergantian, menyimpan tanya saat tidak ada kata yang terucap setelah ajakan keduanya untuk berbicara. Pancaran berkaca-kaca yang tidak bisa Kalula temui apa maksudnya.

"Kenapa?" tanya Kalula menelisik tampilan kusut Aurora. Tidak terawat seperti biasa. Bawah matanya yang menghitam dengan pipi membengkak.

Sudah berlalu empat hari semenjak pengakuan maaf yang tidak kunjung Kalula dapati. Dan sepulang sekolah ini Aurora mengajak bertemu di area belakang sekolah yang selalu sepi dan ada Jema yang menemani. Meskipun mulut yang terus terkatup dengan mata yang menyorot sedih.

Kalula bingung.

"Gue minta maaf," ucap Aurora menarik napas dalam. Jari yang bergetar merayap pada punggung tangan. Meremas pelan berusaha menatap lama manik Kalula.

"Ini tulus Kalula. Gue gak nyaman," lirih menggerogoti diri. Tenggorakan serasa tercekat terhalang mengungkapkan isi hati.

"Tuntunan banyak orang, omongan mereka bikin gue terganggu. Tiap hari pesan itu masuk...dan ketikan mereka yang selalu nyuruh gue buat mati. Gue menyesal, La. Perasaan bersalah dan cacian manusia bikin gue hilang arah," tutur Aurora terisak di hadapan Kalula yang membisu.

"Gue takut."

Sesak kembali datang menusuk dada, tubuh yang bergerak mundur memberikan jarak yang membuat belitan tangan Aurora terlepas. Membuncah amarah, emosi, dan kesedihan yang menyatu. Lidah terasa berat untuk menjawab permintaan maaf yang sudah lama diinginkan. Bergetar bibir Kalula saat menangkap cucuran air mata dari kedua pelaku yang saat ini sama-sama terluka.

"Dan itu yang aku rasain hampir dua tahun ini," balas Kalula penuh tekanan.

"Dua tahun, Kak. Gak ada satupun orang yang bisa aku jadiin tempat mengadu. Menerima dengan bodoh semua perlakuan biadab kalian. Sepi dan sendiri. Selalu berharap buat bisa kayak yang lain. Datang, duduk, belajar, bercanda sama temen, lalu pulang. Nyatanya jalan aku beda, keberadaan aku di sini bukan buat nuntut ilmu, tapi dijadiin mainan, bahan perundungan, diejek dengan tawaan, dan dipandang penuh kerendahan," jelas Kalula tersenyum seraya mengorek kertas-kertas tipis yang dijadikan sebagai pelarian. Berusaha mengontrol suara serak bergetar menyayat hati.

Mengubah posisi duduk, menyamping untuk memperlihatkan kaki kiri yang menjadi alasan disakiti. Mengangkat sedikit kemudian tertawa saat menangkap raut tegang dari keduanya.

"Aku gak pernah minta buat jadi orang cacat. Mana ada yang mau kakinya pincang gini?" Kalula menunduk mengusap objek yang dibicarakan. Tatapan berubah sendu saat mengingat sekelebat bayangan masa lalu. Awal mulanya Kalula dianggap benalu.

"Aku mau tanya, bayang-bayang omongan orang sebanding gak sama semua cacian yang kalian ucapin selama ini? Tatapan remeh yang saat ini kalian dapatin setara gak sama yang dulu aku rasain? Dunia memang selalu gini, kak. Aku gak akan selalu di bawah dan kalian pun gak akan selalu di atas. Jalanin aja, sampai otak kalian gila." Kalula tatap lurus deretan tiang kelas. Menekan telapak tangan pada tangan kursi agar tidak terlalu memikirkan perasaan Aurora ataupun Jema yang tersakiti.

Gelak tawa keluar dari mulut Aurora.

Melihat wajah memerah seniornya itu menciptakan garis tipis pada bibir Kalula. Dia tersinggung. Terpancing dan kembali memperlihatkan sisi ganas seorang pembully. Terungkap, bahwa permintaan maaf mereka bukan sepenuhnya dari hati, bukan menyesal tapi tertekan dan terpaksa menuturkan. Karena tidak ingin semakin dipandang sebagai rendahan.

"Kejahatan gak selalu dibalas dengan kejahatan, Kalula. Gue tau semuanya gak mudah buat lo. Tapi, ucapan itu terlalu berlebihan. Seolah-olah kami para pembully memang gak pantas buat dihormati lagi, semua orang termasuk lo kenapa nuntut kami buat jadi orang gila? Otak ini masih waras" ungkap Jema mengangkat wajah. Menatap rumit Kalula yang masih belum melunturkan senyuman.

TRAGEDI 23.59Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang