"Ayah."
Pria berkacamata yang sibuk merapikan jas kantor itu merespon dengan alis terangkat. Sesekali menyeka sudut bibir memastikan tidak ada noda makanan yang tertinggal. Memperbaiki posisi duduk lalu melabuhkan atensi sepenuhnya pada Anka yang duduk di seberang.
"Kenapa? Kamu buat masalah lagi?" Ardan menyorot tajam raut tegang yang terlukis pada wajah anak tunggalnya itu. Seakan tahu maksud arah pembicaraan Anka yang tidak jauh dari surat panggilan sekolah.
"Ayah harus gimana? Satu tahun lagi udah mau lulus, Ka. Jangan makin bandel, nanti Bunda sedih," tegur Ardan merendam amarah. Menatap miris sosok Anka yang semakin tumbuh, tanpa banyaknya waktu dan hingga kini Ardan berhasil membesarkan Anka semenjak kepergian istrinya 10 tahun yang lalu.
Walaupun sepi yang melingkupi. Tapi tidak pernah sedikitpun Ardan lupakan, berusaha untuk meluangkan waktu untuk pulang ke rumah sekedar bertegur sapa dan menanyakan keadaan. Bagaimanapun usia yang mulai beranjak dewasa dalam pandangan Ardan, Anka tetap menjadi sosok anak kecil yang setiap hari ingin dimanja.
Tanpa sadar tersenyum.
"Ada yang mau Anka bicarain sama Ayah." Begitu sayup terdengar, menciptakan sorot kebingungan pada manik kelam Ardan. Menunggu dengan garis bibir yang masih memperlihatkan seulas senyum.
"Sebagai anak Anka mau minta izin sama Ayah. Ini murni dari hati Anka, semoga Ayah bisa terima." Semakin memanas suasana ruang makan pagi ini. Posisi kedua tangan yang bertumpu pada meja makan tampak bergetar saat mulut mulai terbuka.
Keluh untuk menggerakkan saat melihat reaksi wajah Ardan yang kebingungan. Tidak mengerti.
"Anka minta izin."
"Izin apa? Jangan buat Ayah penasaran." Ardan memasang ekspresi kesal. Matanya turun melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 07.00. Menandakan jika tidak segera berangkat nantinya bisa terlambat dalam rapat yang jauh-jauh hari telah dipersiapkan dengan matang.
Ardan berdiri dengan tangan kiri yang menenteng tas kerja. Mendekat pada Anka yang masih terdiam.
"Nanti aja bicaranya, Ayah sudah telat. Ayah pamit, jangan bandel!" tutur Ardan meninggalkan satu cubitan pada lengan Anka. Tertawa geli kemudian berbalik dengan langkah lebar menuju pintu.
"Allah. Dia Tuhan satu-satunya. Esa."
Ketukan sepatu kulit terhenti. Wajah Ardan datar disusul kerutan samar. Rasa resah mengganggu pikiran yang membuat Ardan kembali mundur, berbalik pada Anka yang sudah berdiri kokoh dengan tatapan yang dalam. Dagu anaknya itu terangkat, seolah benar-benar pasti mengucapkan.
"Islam. Anka izin pada Ayah untuk mengenal ajaran itu lebih dalam...hidup sebagai seorang muslim," ujar Anka tenang tapi tidak sejalan dengan degupan kencang.
"Anka izin pindah agama, Yah. Ini dari hati Anka."
Tanpa kata, Ardan menatap lekat keseriusan yang tertera pada wajah remaja di hadapannya. Masih mencerna ungkapan yang diucapkan begitu lantang, menusuk uluh hati terdalam. Tidak pernah terpikir Anka akan melakukan hal ini, putar arah dan berpindah akan kepercayaan pada Sang Pencipta.
"Kenapa?" Satu kata keluar dari bibir Ardan yang bergetar. Terkepal tangan dengan mata menyipit, raut terkejut yang tidak bisa lagi disembunyikan. Tamparan keras pada pipi bagian kanan Anka telah menjelaskan seperti apa amarah Ardan.
Berhasil membuat remaja laki-laki itu mundur tidak siap dengan serangan. Menunduk, berusaha tetap pada pendirian. Anka tahu, akhirnya akan seperti apa. Sama seperti yang dulu Bundanya ucapkan sebelum hari perpisahan itu datang. Ketika niat untuk berpindah kepercayaan dan Ardan menentangnya keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAGEDI 23.59
Teen Fiction"Papa, anakmu dibinatangkan." ~~~ Dia, Kalula. Remaja cacat dengan kaki kiri yang pincang. Bagi Kalula, SMANTA adalah tempat yang paling menakutkan. Menjadi korban perundungan membuat hidupnya berantakan. Tubuh penuh luka. Hati yang gelisah. Akal y...