Ramai mengisi pagi ini. Berhadapan dengan jejeran orang berpangkat menciptakan degup jantung tidak beraturan. Terasa dingin sekujur tubuh saat kulit diusap begitu lembut oleh wanita berjas putih, andalan dokter rumah sakit. Tersenyum manis begitu menenangkan. Jari-jarinya yang terbalut sapu tangan naik merapikan rambut acak-acakan Kalula yang baru bangun tidur.
Wajah kentara pucat dan bibir kering menjadi seluruh objek pandangan dari semua pasang mata. Terutama para orang tua dari penguasa yang membuat Kalula hingga kini hilang arah untuk sekedar bangkit dan kembali melangkah.
"Hanya luka kecil."
Apa katanya?
Membentuk garis senyuman pada bibir. Dengan tatapan rumit dan alis menukik pertanda miris mendengar ucapan yang tidak sejalan keadaan.
"Tubuh teman saya banyak yang lebam, Bu," sahut Prita menekan emosi berdiri di sebelah Pak Narto yang ikut andil dalam pertemuan hari ini. Membawa para wali dari pelaku yang mengelak akan tidak terjadinya penyiksaan kejam dua tahun belakangan.
"Bisa diobati." Ibu dari Jema itu terkekeh kecil seiring kepala bergerak kembali menuju pada Kalula yang bersandar lemah.
"Saya tanggung biayanya." Pria berkemeja putih dilapisi jas hitam mahal dan sebuah dasi yang terpasang rapi angkat suara. Melirik sekilas pada Kalula lalu kembali menunduk terfokus pada ponsel di genggaman. Begitupun wanita di sebelahnya yang tampak enggan berinteraksi
Kedua wajah perpaduan dari Rayden.
Kalula mengetahuinya.
Ibu Jema, kedua orang tua Rayden, dan Bu Sena.
"Ini bukan soal biaya," ucap Kalula pelan. Menahan sesak yang berlomba-lomba ingin keluar. Menatap lurus wajah Bu Sena, menelisik dalam arti tatapan mata melotot dan mulut bergetar karena geram.
"Ini soal keadilan. Dipertanyakan? Kenapa saya dibedakan?" Lolos dengan mudahnya, kekehan sayup-sayup terdengar dari mulut bekas terbakar putung rokok itu.
"Luka saya kalian anggap kecil dan perlakuan para anak manja itu dianggap wajar? Kalian aneh, semuanya selalu menganggap bahwa saya berlebihan." Kalula mengangguk dengan tatapan penuh tantang pada setiap bola mata yang memojokkan. Tidak terima akan pengungkapan.
Lanjutan kata terjeda karena gerak tubuh dari wanita yang berperan sebagai orang yang melahirkan Rayden itu bangkit, mendekat dan berdiri di sebelah Ibu Jema. Mulutnya yang semula bungkam terbuka memberikan sanggahan.
"Mereka masih labil, jangan memperpanjang masalah dan membuat semuanya sulit. Untuk ke depannya akan saya pastikan Rayden tidak akan melakukan hal yang sama." Tegas keluar dari bibir merah. Tidak ada senyuman namun tatapan mata yang memberikan kepastian.
"Bu Tara. Anda adalah seorang wakil rakyat. Hak suara kami tujukan untuk bisa anda sampaikan pada pemimpin negara. Entah di posisi yang mana kalian berada, tapi rasanya apakah pantas kasus yang saya alami di anggap sebuah pikiran remaja yang taunya bercanda? Tubuh saya, Bu. Dijadikan mainan para anak-anak bergelimang harta dan kuasa," kata Kalula penuh penekanan menepuk dada. Menggambarkan kesakitan pada arah tatap yang berkaca-kaca.
Perih rasanya ketika keberanian dalam mengungkapkan derita malah ditanggapi rentetan kata tidak berguna. Menolak keras untuk berada pada pihak yang bersalah, masih menyalahkan Kalula atas sikap yang terlalu kekanak-kanakan. Menganggap serius candaan tentang kecacatan dan segala tindakan keras menjatuhkan mental, hingga berantakan.
"Saya diolok-olok." Suara Kalula mengecil namun terdengar jelas bergetar. Menciptakan sunyi dalam ruang yang dipenuhi untuk menyaksikan.
Tetapi sulit untuk mengiyakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAGEDI 23.59
Teen Fiction"Papa, anakmu dibinatangkan." ~~~ Dia, Kalula. Remaja cacat dengan kaki kiri yang pincang. Bagi Kalula, SMANTA adalah tempat yang paling menakutkan. Menjadi korban perundungan membuat hidupnya berantakan. Tubuh penuh luka. Hati yang gelisah. Akal y...