Berdenging membuat kepala pening. Anka berdiri kaku mendengar sahutan suara yang membicarakan keadaan Atma. Rahangnya mengeras ingin mengungkapkan tidak persetujuan pada keputusan mereka.
Mau merusak seperti apalagi?
Kesembuhan Atma memang waktu yang diinginkan dari dulu. Namun, untuk mengorbankan Kalula rasanya enggan. Takut, tidak ada yang boleh hilang. Baik Atma ataupun Kalula.
"Hasilnya cocok." Juna menjawab sembari mengecup pucuk kepala Atma, menenangkan.
"Anak Papa pasti sembuh," bisikan lembut semakin menerbitkan senyuman manis.
"Usia mereka masih terlalu kecil. Butuh 2 tahun lagi buat Atma," sahut Gitta menghela nafas berat, menatap nanar pada Atma yang meringkuk dalam pelukan Juna.
"Transplantasi jantung?" Aksa menyeringai kecil menatap Anka yang terpaku, menangkap gemetaran kepal tangan pada sisi tubuh jangkung itu.
"Tujuan kita kan, Ka? Lo harus bujuk Kalula."
Sepenuhnya mengarah pada Anka. Juna dan Gitta serempak mengangguk dengan seulas senyum harapan. Kedekatan keduanya memberikan peluang yang lebih besar bagi Kalula untuk bersedia membantu Atma.
"Bukan buat jadiin Kalula pendonor. Kalian mau bunuh dia?"
Tertawa menatap Juna sendu. Tidak berpikir kah sosok orang tua itu tentang nyawa anaknya yang dikorbankan? Demi permintaan Atma yang ingin terlepas dari jeratan penyakit mematikan.
Awal kedekatan, perhatian yang mempunyai tujuan dan akhir yang membuat Anka dilema oleh pilihan.
"Om gak mikir gimana hancurnya Kalula? Dia gak punya apa-apa, dia rapuh dan kalian mau ambil hal terpenting yang bahkan gak pernah sekalipun kalian jaga. Rasa sayang masih ada kah, Om? Rasa cinta yang gak pernah dia dapat dari kecil dan saat beranjak dewasa kalian malah bikin dia mati? Pembunuh, benar?" Suara kian meningkat disusul tepukan kecil. Anka menggeleng, tidak percaya.
"Takdir Tuhan memang nuntut dia buat berkorban," respon Gitta mengangkat dagu angkuh. Mengatur raut wajah yang masih kesal akan perbuatan kurang ajar Anka yang mendorong tubuhnya saat menyelamatkan Kalula.
"Kelinci kecil yang kalian besarkan dengan ancaman, pukulan dan teriakan. Dia dibesarkan bukan untuk menjadi Pebisnis tapi pendonor untuk Atma. Bukan takdir tapi tumbal."
Memanas saat tangan Juna terangkat menampar pipinya. Tatapan tajam dengan telunjuk bergetar, terbuka ingin berucap namun tidak ada suara yang terdengar. Tercekat tidak bisa mengelak. Ucapan yang membuat dadanya berdentum keras merasa tersinggung saat perannya dibahas.
"Kak."
Anka menoleh pada Atma yang lesuh. Memejamkan mata tidak ingin berubah arah melihat ketidakberdayaan tubuh yang mengurus itu. Tidak semuanya tentang Atma. Yah, Anka menyimpulkan. Berada di tengah-tengah lingkup keluarga yang sehat, memberikan semangat dan berjuang untuk kesembuhan. Tetapi bagaimana dengan Kalula? Sendiri, tidak tahu mengenai arah hidup yang diatur.
"Lo gak ngerasa bersalah?" tanya Anka.
Tertunduk menahan tangis.
Mencengkram rambut menahan tempramen buruk. Anka mundur, mengatur kepalan tangan agar tidak mendarat pada wajah Juna. Masih memikirkan kesopanan pada orang tua. Masih mempedulikan kesehatan Atma. Dan masih belum bisa menerima bahwa Kalula yang menjadi alat demi kesembuhan cintanya Juna.
Sial.
Atma dicintai begitu besar?
Kian terkikis rasa ingin bersama.
Anka menolak, untuk tidak terlalu jatuh lagi pada Atma.
Hanya satu.
Anka ingin Kalula.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAGEDI 23.59
Novela Juvenil"Papa, anakmu dibinatangkan." ~~~ Dia, Kalula. Remaja cacat dengan kaki kiri yang pincang. Bagi Kalula, SMANTA adalah tempat yang paling menakutkan. Menjadi korban perundungan membuat hidupnya berantakan. Tubuh penuh luka. Hati yang gelisah. Akal y...