Bab 31 [ SAKSI BERSUARA ]

625 45 7
                                    

Tersorot oleh seluruh pasang mata keberadaan tiga penguasa yang datang dengan keadaan memprihatinkan. Rayden tetap angkuh memposisikan kedua tangan ke dalam saku dan sosok Aurora dalam rangkulan Aksa yang melangkah pincang.

Malam itu, kedua kakinya benar-benar terasa patah. Jika saja satpam rumah sakit tidak datang dapat dipastikan kerusakan pada tulang betisnya. Diinjak kasar tanpa kasihan.

Ketiga siswa itu dituntun mengarah pada ruang kesiswaan yang disambut bisikan banyak orang. Masih tidak ada rasa malu akan kejadian mengerikan yang terjadi beberapa hari lalu tersebar dan menjadi bahan perbincangan khalayak ramai.

SMANTA tercoreng.

Predikat terbaik sebagai sekolah bergengsi jatuh dalam sekejap menjadi bualan media.

"Mampus. Orang kaya songong, gemes amat gue pengen jambak," ejekan diselingi decakan menusuk pendengaran.

"Bu Sena kebangetan sih, anak udah buat kriminal malah dibiarin."

"Aduh jauh-jauh lo pembully."

"Jijik."

"Gue nunggu karma Tuhan buat mereka."

"Modal posisi orang tua malah kelewatan siksa anak orang, ciri-ciri jiwanya sakit nih."

"Mental rusak."

"Mati aja mati."

Terpejam dengan napas tercekat, Aurora tidak berani mengangkat kepala melihat banyak kerumunan yang menyesak untuk turut masuk ke dalam ruangan. Dalam sekejap, mulut yang dulu berhasil mereka bungkam dengan ancaman sesaat menjadi kelompok yang menuturkan kesaksian.

Menghina habis-habisan.

"Heh cewek bego, kalau gak ada Rayden sama Aksa paling lo gak lebih dari cupu, tampang lo itu gak cocok buat dihormati, banyak gaya," cecar perempuan berambut keriting menarik rambut Aurora dari belakang.

Nyaris terjungkal jika Aksa tidak menahan. Belum lagi kondisi kedua kaki yang masih lemah untuk berpijak tanpa bantuan. Tersudut oleh tatapan remeh sekelompok siswa berseragam yang Aurora kenal, mereka seangkatan.

"Minggir!" sentak Aksa menatap tajam.

"Ahh, gue berdoa biar orang-orang gak punya otak kayak lo pada dihukum seberat-beratnya. Kapan perlu penjara, bacot yang namanya di bawah umur," sahut diujung lorong berteriak memanaskan suasana.

Menciptakan raut keras dari wajah Aksa yang mulai tersinggung dengan berbagai suara, menjatuhkan mereka.

"Cowok banci."

"Aksa lo saudara yang buruk."

Menggeram. Aksa tidak tahu entah sejak kapan berita itu tersebar, tentang hubungan pelik dalam rumah.

"Cowok tuh mainnya sama cowok, pengecut lo, anak tolol."

Situasi semakin tidak kondusif, setiap mulut menyuarakan kekesalan yang selama ini ditahan. Tidak ada lagi gambaran segan yang ditujukan karena semuanya telah terungkap. Video pembullyan tersebar lalu menjadi topik hangat. Berbagai ujaran kebencian diterima semenjak kemarin malam.

Aksa terpaksa menonaktifkan akun sosial medianya karena ketikan tidak bernorma.

"Gak ada yang mau temenan sama pembully."

"Gimana rasanya dihina?"

"Rayden pengen nangis tuh, jangan gitu teman-teman."

Gelak tawa dan sorakan menemani langkah yang kian cepat untuk bebas dari kerumunan.

Rayden yang terus bungkam tidak mampu lagi menahan, kedua tangannya mengepal kemudian menonjok kaca kelas dengan tubuh bergetar.

"Arrgghh sial diam lo semua!" teriak Rayden mengacak rambut frustasi. Matanya berkilat tajam menghunus tiap-tiap wajah di hadapan. Bahu naik turun dengan napas terengah-engah cukup terganggu akan hinaan yang tidak bisa diam.

TRAGEDI 23.59Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang