Bab 14 [ SATU TITIK TERANCAM ]

660 46 0
                                    

Aroma familiar menusuk ke penciuman. Derap langkah memelan digantikan usapan. Senyuman tertahan dengan mata yang tetap terpejam. Namun, sesaat dahi perempuan yang terbaring di ranjang inap rumah sakit itu berkerut. Mulai merasakan perih pada sisi wajahnya. Kemudian turun membelit leher membuat pasokan udara menipis.

Kaki Atma bergerak ribut, tangannya memukul lalu meremas satu tangan yang masih mencekik lehernya kuat.

"Arrghhh," geram Atma menatap samar sosok  bertubuh tinggi dihadapannya.

"Sakit?" Nada rendah yang semakin membuat Atma merinding.

Berusaha berteriak. Mata Atma melotot seiring cengkraman yang menguat. Melenguh saat pergerakan tiba-tiba itu mendorong kepalanya membentur pembatas ranjang.

"Sakitt," ringis Atma lemah. Rasa sesak ikut mulai terasa di rongga dadanya, membuat Atma tidak mampu memberi perlawanan.

Menangis.

"Dunia gak adil."

Atma melirik sebentar lalu merangkak cepat ke arah pintu.

"Lepasss." Atma meronta saat rambutnya dijambak dari belakang kemudian diseret dan dibanting ke sudut ruang.

Terengah-engah menekan dada. Tangan Atma bergetar, meringkuk ketakutan saat helaian rambutnya dirapikan. Tidak berani membuka mata untuk sekedar mengetahui pelakunya.

Terdiam, panik dan gelisah.

"Kalian lancang."

"Saya kesakitan," lirih pada pendengaran, penuh gemetaran.

"Anak pelacur."

Atma menggeleng ribut.

"Penyakitan."

"Gakkkk!" Atma semakin histeris. Mengacak rambutnya dengan racauan tidak jelas.

Tawa kecil terdengar begitu menyedihkan. Binaran mata yang meredup seiring kepalan tangan memukul telak pelipis Atma.

Sekejap.

Membuat Atma meraung kesakitan.

"Jadi, kayak gini yang kalian rasain saat nyiksa dia, hmm?"

"Puas? Senang?"

"Manusia hina," umpat laki-laki itu kembali menjambak rambut Atma, matanya benar-benar memperlihatkan dendam.

Tidak memberi kesempatan bagi Atma untuk melawan. Apalagi perbedaan tenaga yang terbilang jauh membuat Atma semakin tersudut menahan rasa sakit.

"Seharusnya bukan anak cacat yang dibenci. Tapi kalian, minim kemanusiaan layaknya binatang, gak lebih dari sekelompok anjing."

Menyeruak rasa sesak pada dada. Mata memerah dengan nafas tercekat tidak sanggup melanjutkan kata. Mulut terbuka namun tidak bersuara, laki-laki dengan luka bakar pada tangan kiri itu beralih mengusap sudut mata Atma yang berair.

"Dari kecil kenapa Tuhan tidak pernah memihak? Pada kami, anak yang ditelantarkan," tutur lemah membuat Atma perlahan mengangkat kepala, berusaha menilai wajah yang tertutup masker hitam.

TRAGEDI 23.59Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang