Gigi bergemelutuk menahan umpatan pada dua laki-laki yang berdiri kaku saling menghakimi. Buncahan emosi diperlihatkan pada masing-masing mata yang mengarah pada tubuh lemah.
Kalula, tersengal-sengal nyaris tidak bersuara.
"Aksa." Aurora menahan gerak kaki yang hendak berbalik. Mata yang mengabur mengucurkan air mata bercampur darah. Bibir kering bergetar membisikkan kata pertolongan pada temannya. Berharap masih ada setitik rasa kasihan melingkupi hati yang telah diliputi dendam.
"Jangan...kita udah terlalu bikin dia hancur. Sisain satu bagian buat dia napas dengan tenang, terlalu lucu kalau akhirnya dia tetap mati di tangan orang yang masih tuli dengan kesalahan," tutur Aurora mencengkram betis Aksa yang gemetaran.
Samar-samar rintihan keluar dari mulut perempuan yang bersimbah darah di tengah-tengah gerbang belakang.
"Aurora, cukup jadi saksi dari kegilaan manusia gak bernorma." Rayden menyahut, posisi kaki yang semulanya menjauh kembali memutar arah, menuju Kalula yang mengadah, penuh kesakitan.
Genangan air mata menumpuk dan berlomba-lomba jatuh membasahi wajah kumuh. Kalula gapai wajah dingin Rayden yang menyorot sendu, lalu berubah sekejap memunculkan tatapan buas yang selalu membuat tubuh luruh.
"Sakit?" Rayden berbisik seraya mengusap bagian perut kiri Kalula.
"Mau mati?"
Hanya dari sorot mata Kalula bisa mengungkapkan balasan akan pertanyaan gila itu.
"Kalula, lo terlalu angkuh buat nuntut keadilan dari orang berada kayak gue. Penguasa gak akan pernah berlutut buat ucapin permohonan maaf, itu penghinaan." Tertawa kecil setelah mengucapkan rentetan kata sombong. Masih dengan tatapan remeh yang selalu menyudutkan Kalula untuk diam.
Membuang muka, menangkap Aurora yang menggeleng lemah tidak sanggup memberikan pertolongan. Beralih pada Aksa, pelaku dari penusukan yang hanya diam. Dan keenam laki-laki yang tadi melecehkan dengan segala cacian.
Galih.
Dia tidak di sini.
Rasanya jika Tuhan masih mengizinkan Kalula untuk lebih lama tinggal, ada ungkapan penuh kasih yang ingin diucapkan. Sebagai sosok penolong yang membantu Kalula bebas dari perlakuan menjijikkan.
"Rayden."
"Aku ha-rap, kamu... hidup layaknya manusia. Biasa bukan orang gila," gumam Kalula terputus-putus karena merasakan tekanan pelan pada pusat luka.
Rahang laki-laki yang berjongkok di hadapan tampak mengeras karena tersinggung oleh ucapan. Tidak bergerak namun matanya melirik jejeran anak berandalan yang ikut menyaksikan, seolah memerintah untuk melanjutkan penyiksaan. Kendali ada di tangan penguasa utama, Rayden yang menjadi akar dari segala rencana busuk malam ini.
"Ray, ini gak kelewatan?" Aksa bersuara lemah, tercekat napasnya dengan mata memerah. Tangan yang terus mencengkram sisi celana mengubur rasa bersalah yang muncul tiba-tiba.
Ikut melangkah, para laki-laki itu mengepung tubuh Kalula.
"Rencana kita dari awal cuma nyaksiin nih cewek disetubuhi kan? Lo malah nusuk dia bego," ketus Rayden mendengus malas.
"Gue rasa ini cukup. Lo mau bikin dia mati?" Satu dari komplotan berpenampilan acak menatap aneh Rayden.
"Lo gak mau?" Suara Rayden naik dengan tatapan mengancam. Kembali berhasil membungkam banyak mulut dan patuh melaksanakan.
Keenam laki-laki yang diperintahkan bergerak pelan, ragu.
"Abang."
Lemah namun dapat Aksa dengar. Berdetak di dalam sana, ribut kepala, dan berat lidah. Semuanya berkecamuk saat menyaksikan di depan mata sekelompok remaja seumuran melakukan pelecehan pada saudara sedarah. Mata sendu yang berisi harapan akan rasa kemanusiaan Aksa dan mulut yang terus memanggil.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAGEDI 23.59
Teen Fiction"Papa, anakmu dibinatangkan." ~~~ Dia, Kalula. Remaja cacat dengan kaki kiri yang pincang. Bagi Kalula, SMANTA adalah tempat yang paling menakutkan. Menjadi korban perundungan membuat hidupnya berantakan. Tubuh penuh luka. Hati yang gelisah. Akal y...