Alunan gitar dan nyanyian terdengar saling berirama memenuhi warung kopi di salah satu sudut gang Surabaya. Para pemuda gabut itu sedang memainkan lagu Denny Caknan yang paling hits, Kartonyono Medot Janji, dengan nada-nada surau, fals, tapi menghayati.
Warung kopi milik Cak Roso itu tak pernah sepi. Tapi, dibilang ramai juga tidak. Setidaknya, selalu ada satu atau dua pelanggan yang mampir ke sana, khususnya bapak-bapak yang lagi pengen begadang sambil nonton acara bola di TV jadul milik Cak Roso.
“Mbiyen aku sek betah … suwe suwe wegah … nuruti kekarepanmu sansoyo bubrah …” Indra bernyanyi dengan sangat lantang, seperti seseorang yang tengah menyuarakan suara hatinya ketika ditinggal oleh mantan terindahnya.
Di sebelahnya, Yono asik menggenjreng gitarnya dengan penuh semangat. Saking semangatnya, dia seringkali salah kunci. Teman-temannya tidak mempermasalahkan hal itu karena mereka tidak ada yang bisa bermain gitar.
Gembul tidak mau kalah. Kedua tangannya menabuh galon kosong yang tidak dipakai Cak Roso. Suaranya memang tidak semirip gendang asli, tetapi tabuhan Gembul terdengar cukup mantap. Hal itu tidak lepas dari pengalamannya sebagai pemain rebana di grup sholawatan setempat.
“Asik …” sahut Bambang yang gak berkontribusi banyak di grup musik dadakan itu. Dia memang hafal sama liriknya, tetapi dia tidak pede bernyanyi karena dia takut mengganggu ketertiban umum. Menurut testimoni orang-orang, suaranya terlalu indah untuk didengarkan.
Di tengah keasikan konser dadakan mereka, ponsel pintar Indra mendadak berdering. Udan tangise ati … saiki wis rodok terang …. masio iseh tansah kelingan … kowe sing tak sayang-sayang. Lagi-lagi, nada deringnya adalah lagu Denny Caknan yang berjudul Sugeng Dalu.
Indra sengaja menjadikan lagu tersebut sebagai nada deringnya karena lagu itu adalah favoritnya. Panggilan itu tidak langsung diangkat oleh Indra. Kedua matanya menyipit, sementara otaknya sedang berpikir.
“Siapa yang nelpon, Ndra?” tanya Gembul.
“Nggak tau. Nomor tidak dikenal.”
Indra sedikit merasa ragu karena dia cukup sering mendapatkan panggilan dari orang yang mau nipu. Modus yang paling umum sih ngaku-ngaku sebagai saudara jauh yang merantau di Kalimantan. Anehnya, Indra sempat percaya karena kepolosannya.
“Halo! Dengan siapa saya berbicara?” jawab Indra usai menepis keraguannya.
“Selamat malam, Mas Indra! Saya Pak Subroto. Terkait lamaran kerja yang Mas kirim beberapa waktu yang lalu, saya ingin membicarakannya lebih lanjut. Apakah Mas besok bisa ke sini?” ucap penelpon itu dengan suara yang terdengar berat tapi ramah.
Indra terdiam sejenak sebelum merespons pertanyaan tersebut. Ada rasa terkejut dan tidak percaya yang menyelimuti benaknya. Perkataan bapak tersebut memberikan pertanda baik bahwa masa menganggurnya selama lima bulan ini akan berakhir.
“Baik, Pak. Saya akan ke sana Terima kasih banyak atas informasinya.,” balas Indra mantap.
Teman-teman nongkrongnya sibuk bersiul-siul saat mereka melihat wajah Indra yang sumringah seperti orang yang baru menang jackpot. “Wah, teman kita ada yang mau jadi pak guru, nih,” Yono menyeletuk ringan.
Indra cuman membalas senyum haha-hihi lalu pamit untuk pulang dan siap-siap buat besok.
***
Kemarin-kemarin, Indra bangun dengan rasa malas. Namun, semuanya berbeda kali ini. Dia terlihat menggunakan sebuah kemeja putih yang rapi, celana katun hitam, serta sepatu pantofel yang telah nganggur selama sebulan di rak sepatu.
Sepatu pantofel itu terakhir kali digunakan Indra ketika dia melakukan sesi wawancara ke salah satu kantor asuransi di Surabaya. Pada itu, dia tidak keterima kerja di tempat tersebut. Meskipun alasannya tidak dijelaskan secara pasti, dia menduga bahwa hal itu berkaitan dengan latar belakangnya yang tidak linier dengan posisi pekerjaan.
“Hemmm… gua memang tampan,” ucap Indra sembari tersenyum ceria di depan cermin. Sekilas, ingatannya tentang masa-masa kuliah terbesit di pikirannya.
Indra adalah seorang sarjana pendidikan alias S.Pd. Dia menempuh jurusan Pendidikan Anak SD di salah satu universitas terbaik di Bandung. Karena berbagai alasan klasik, dia tidak bisa lulus tepat waktu. Dia butuh lima tahun untuk menyelesaikan studinya.
Saat masih mengerjakan skripsi, Indra berpikir bahwa beban hidupnya terasa sangat berat. Pasca beban itu lepas, beban yang lebih berat telah menantinya. Dia harus menghadapi tantangan di dunia kerja.
Dari berbagai jenis pekerjaan yang ada, Indra mempunyai keinginan yang kuat untuk menjadi seorang guru SD. Meskipun dia bisa memilih opsi pekerjaan yang lain, ada alasan khusus yang membuat dia ingin menjadi seorang guru SD.
Jam menunjukkan tepat pukul 08.00 WIB. Pak Subroto memang tidak mengucapkan secara pasti terkait waktu pertemuan mereka. Namun, Indra merasa bahwa dia harus datang pagi-pagi untuk menciptakan kesan yang baik.
“Bu, Indra pamit dulu. Doakan semoga Indra bisa keterima kerja!” ucap Indra sembari mencium tangan kanan ibunya.
“Tentu saja, Nak. Meskipun kamu tidak minta, doa ibu selalu menyertaimu,” jawab ibunya dengan lembut. Rasa bangga dan bahagia jelas terpancar di kedua matanya. Anaknya yang dulu bandel kini terlihat penuh wibawa.
Tak lama kemudian, Indra langsung melenggang cepat di jalanan kota Surabaya dengan sepeda motor matik kesayangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Begini Rasanya Jadi Pak Guru
General FictionSetelah menganggur selama beberapa bulan, Indra akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru di sebuah SD. Kabar itu sangat membahagiakan karena dia memang ingin mendedikasikan dirinya untuk menjadi seorang pengajar. Selama mengajar di SD ter...