Bab 6

25 3 0
                                    

Tanpa terasa, waktu berlalu begitu cepat dan satu bulan telah terlewati begitu saja. Salah satu momen yang paling ditunggu-tungguh Indra adalah momen saat dia menerima gaji pertamanya sebagai guru.

Jumlahnya memang tidak begitu besar dan mungkin dibilang kurang untuk standar hidup di kota besar. Namun, Indra merasa sangat puas karena dia tidak mengejar uang. Dia sudah mempertimbangkan hal tersebut sebelum dia memutuskan untuk menjadi seorang guru.

Kebetulan, keluarga Indra adalah orang yang mampu dan berkecukupan. Ayahnya bekerja sebagai seorang pengusaha mebel kayu. Dia seringkali melakukan transaksi ke berbagai daerah hingga ke luar negeri. 

Dulu, Indra merupakan anak yang sangat susah diatur sampai-sampai kedua orang tuanya menganggap dia tidak punya masa depan. Karena itulah, mereka sangat terkejut saat mereka mendengar Indra ingin kuliah ke luar kota dan menjadi seorang guru SD.

Ayahnya tidak menolak keputusan tersebut, dia malah mendukung keputusan Indra meskipun dia tahu bahwa gaji seorang guru SD tidaklah seberapa. Dia hanya ingin agar anaknya bisa menjadi sosok yang bermanfaat bagi masyarakat.

“Kalau kamu memang serius menjadi guru, jangan terlalu berorientasi uang! Memang, uang sangat penting. Namun, pengabdianmu juga tidak kalah penting. Ayah akan membantu kamu kalau kamu suatu saat sedang kesulitan ekonomi,” ucap ayah Indra pada saat Indra hendak pergi kuliah. Kata-kata itu tertanam kuat di ingatan Indra.

Saat ini, Indra menagih janji tersebut kepada ayahnya. Dia ingin membuka bisnis nasi goreng agar dia bisa mendapatkan tambahan penghasilan. Karena itulah, dia membutuhkan modal yang cukup banyak.

Rencananya, Indra ingin membeli sebuah pick up untuk berjualan agar dia bisa lebih mudah berkeliling ke berbagai titik lokasi. Tanpa menimbang lama-lama, ayah Indra langsung menyetujui permintaan tersebut.

Memasak adalah salah satu hobi yang disukai Indra sejak dia masih ngekos. Opsi masakannya pun sangat sedikit dan pasti bisa ditebak dengan mudah, apalagi kalau bukan mi instan dan nasi goreng. Dia suka bereksperimen terhadap dua menu tersebut.

Indra selalu menerima kritikan dari teman-temannya apabila ada yang kurang dari masakannya, khususnya si Dimas. Kebetulan, mereka saat itu satu kos bareng. Dimas selalu pesan satu porsi apabila Indra sedang memasak di dapur.

“Micinnya banyakin dikit, Ndra! Kemarin masakan lo hambar di mulut gue,” katanya pada saat itu. Kritikan dari Dimas memang cukup berkontribusi besar bagi Indra. Namun, yang paling berkontribusi besar adalah si Ridho, temannya yang berasal dari Solo.

Selama bertahun-tahun, orang tua Ridho berprofesi penjual nasi goreng. Bisnis mereka sangatlah sukses dan punya banyak langganan. Sayangnya, Ridho tidak tertarik untuk meneruskan bisnis tersebut.

Pas Indra tanya alasannya, Ridho hanya menjawab dengan santai. “Ndra, lo harus paham bahwa tidak semua anak harus mengikuti jalan hidup orang tuanya. Tanpa menurunkan rasa hormat kepada mereka, gue juga punya impian yang harus gue kejar.”

“Memangnya apa impian lo?” tanya Indra. “Jujur, gue sangat suka menggambar dari kecil. Gue bercita-cita untuk membangun rumah impian gue suatu hari nanti. Karena itulah, gue ambil jurusan arsitektur,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Bagus impian lo, Rid. Tapi, sayang banget kalau lo gak nerusin usaha orang tua lo,” sahut Indra.

“Gue santai aja karena gue masih punya adik. Dia kelihatannya suka memasan dan cocok banget jadi penerus bisnis keluarga gue. Ngomong-ngomong, lo jangan remehin gue ya kalau soal masak! Gini-gini, gue bisa masak nasi goreng yang lezat dan bisa bikin lo ketagihan!”

Indra tidak langsung percaya dengan ucapan Ridho karena dia tidak pernah melihat anak itu memasak. Demi membuktikan omongannya, Ridho pergi ke dapur untuk memasak nasi goreng dengan skill warisan keluarganya.

Begini Rasanya Jadi Pak GuruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang