Bab 28

4 0 0
                                    

Anak-anak sedang asyik menyanyikan lagu Di Sini Senang Di Sana Senang dengan penuh semangat. Suasana di dalam bus terasa sangat riuh. Mereka sangat bahagia karena mereka hari ini sedang melakukan kunjungan wisata ke Jogja. 

Indra duduk di kursi nomor dua dari barisan depan. Awalnya, dia berharap bisa duduk bareng bersama dengan Bu Citra. Namun, ekspektasi seringkali tidak sesuai dengan realita. Dia kini terjebak dengan bapak-bapak bertubuh buncit yang suka ngelawak. Siapa lagi kalau bukan Pak Subroto?

“Mas Indra, istri saya kemarin mengeluh pusing-pusing sama badan pegel-pegel. Saya pikir dia lagi sakit. Eh … ternyata enggak punya duit,” ucap Pak Subroto dengan antusias sembari tertawa cekikikan. 

“Saya kalau nggak punya duit juga pusing begitu, Pak.” Indra menjawab sembari tertawa karena lelucon tersebut lumayan lucu.

“Nanti kalau Mas Indra sudah berumah tangga, pasti paham rasanya. Apabila istri marah-marah, dengerin aja biar dia nggak tambah marah! Ngomong-ngomong, sudah punya calon belum, Mas Indra?” 

“Ehm … masih dalam pemantauan, Pak. Doakan saja yang terbaik!” ucap Indra dengan mantap.

“Pasti, Mas Indra. Kalau bingung, saya bisa bantu carikan. Kebetulan, putri saudara saya juga baru lulus kuliah. Jika Mas Indra berminta, hubungi saya saja!” Pak Subroto kembali menyeletuk dengan gaya ala-ala mak comblang.  

Sementara Indra sibuk mendengarkan celotehan Pak Subroto, Bu Citra dan Bu Susanti terlihat sedang duduk anggun di kursi sebelahnya. Berhubung Bu Susanti cukup pendiam, Bu Citra sesekali berusaha untuk mencari obrolan yang menarik.

Mereka tadi berangkat pada waktu subuh sehingga mereka bisa sampai ke tempat wisata lebih pagi. Ada beberapa destinasi utama yang akan dikunjungi, mulai dari Kebun Binatang Gembira Loka, Waterboom Jogja, hingga Candi Prambanan.

Bagi Indra, perjalanan kali ini bukanlah acara wisata semata. Dia mempunyai agenda pribadi khusus momon ini. Apabila dia mendapatkan momentum yang pas, dia berencana untuk mengungkapkan keseriusannya kepada Bu Citra.

***

Destinasi pertama adalah Kebun Binatang Gembira Loka. Mereka menyempatkan diri untuk sarapan terlebih dulu sebelum mereka memasuki area wisata tersebut. 

Anak-anak tampak antusias melihat berbagai satwa yang jarang mereka lihat sehari-hari. Pada saat yang bersamaan, mereka bisa belajar mengenal hewan-hewan. Mereka mengelilingi area kebun binatang tersebut dengan didampingi oleh orang tua beserta wali murid mereka. 

Indra memandu murid-muridnya dengan sabar sembari menjelaskan informasi menarik tentang satwa-satwa tersebut, seperti karakteristik hewan herbivora, karnivora, dan omnivora. Penjelasannya terdengar santai tapi mudah dipahami.

“Jadi begitu, Pak Indra. Menarik banget penjelasannya,” celetuk ibu Fando yang sedari tadi curi-curi pandang ke Indra. Saat ditatap seperti itu, Indra jadi merasa canggung sekaligus deg-degan, apalagi penampilan ibu Fando terlihat paling bersinar dibandingkan ibu-ibu yang lain.

Wisata di kebun binatang tersebut hanya berlangsung selama kurang lebih satu setengah jam. Mereka lantas berganti posisi ke Waterboom Jogja. Di sana, ada berbagai wahana permainan air yang seru.

Indra tidak ikut berenang karena dia mengawasi anak-anak dari permukaan. Namun, ada satu hal yang menarik perhatian Indra di kolam renang tersebut. Matanya sesekali mencuri pandang ke arah ibu Fando yang asyik berenang dengan pakaian yang ketat.

Lekukan tubuh perempuan itu terlihat sangat bohai sampai-sampai Indra menelan ludah. Indra sebenarnya pengen mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Namun, pemandangan itu sayang banget kalau dilewatkan.

“Pak Indra? Lagi lihat apa?” Indra tiba-tiba dikagetkan oleh suara lembut dari Bu Citra. Sontak, dia langsung salah tingkah. 

“Anu … seluncurannya bagus, ya?” jawab Indra seusai dengan isi pikirannya yang terlintas pada detik itu. 

“Jangan-jangan lihat cewek cantik, ya!” sahut Bu Citra sembari menatap Indra dengan sedikit tajam. Wajahnya kelihatan sedikit ketus seperti orang yang lagi cemburu.  

“E … enggak, kok. Ngomong-ngomong, Bu Citra nggak ikut berenang sekalian?” Indra mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

“Saya nggak bisa berenang. Bisanya cuma main tembak-tembakan pakai pistol air. Kalau Pak Indra?”

“Lagi malas ganti baju. Enakan di sini sambil lihat suasana sekitar,” ucap Indra keceplosan. Dugaan Bu Citra yang barusan sepertinya memang benar. Matanya mencoba menelisik area kolam renang untuk menemukan sosok yang menarik perhatian.

“Saya baru tahu kalau Pak Indra itu genit,” sahut Bu Citra sembari mencubit lengan Indra dengan agak keras. Indra refleks merintih kesakitan lalu mengelus-elus bekas cubitan tersebut. Lantas, dia pun pergi meninggalkan Indra.

***

Anak-anak tampak takjub melihat kemegahan Candi Raksasa yang menjulang tinggi. Candi tersebut adalah saksi sejarah kisah Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso. Mereka menyebar ke berbagai titik sembari berfoto-foto ria.

Suasana di Candi Prambanan terlihat sangat pas dan mendukung. Indra ingin memanfaatkan momentum tersebut untuk mengungkapkan keinginan tulus yang telah jauh-jauh hari dia rasakan kepada Bu Citra.

Indra mencari-cari kesempatan agar dia bisa menciptakan ruang khusus antara mereka berdua saja. Namun, rasanya cukup sulit karena Bu Citra terlihat sibuk memandu murid-murid kelas satu yang cukup susah diatur. Keadaan Indra pun tidak jauh berbeda.

Setelah menunggu dengan penuh harap, Indra pada akhirnya menemukan kesempatan itu setelah sesi kunjungan itu berakhir. Di sela-sela perjalanan menuju ke bus masing-masing, Indra mengajak Bu Citra ngobrol berdua.

“Maaf mengganggu waktu kamu, Cit. Ada yang ingin kusampaikan ke kamu. Setelah aku pikir-pikir dengan matang, aku ingin menjalin hubungan yang lebih serius dengan kamu. Apakah kamu mau menikah denganku?” ucap Indra tanpa membuang-buang waktu sedetikpun.

Bu Citra tampaknya kaget mendengar ungkapan itu. Untuk sesaat, dia memasang wajah yang terlihat bahagia. Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Gurat wajahnya berubah menjadi ragu bertambah sendu.

“Aku menghargai perasaanmu, Mas. Aku sebenarnya juga menyukai Mas Indra. Masalahnya ….” Bu Citra menghentikan ucapannya mendadak.

“Masalahnya kenapa, Cit?” Indra refleks bertanya penasaran dengan hati yang penuh harap.

“Maaf karena aku belum memberitahumu, Mas. Aku baru saja dilamar orang lain. Rencananya, kami akan bertunangan bulan depan.”

Seketika, Indra merasa seperti disambar petir. Hatinya yang tadinya cerah mendadak hujan deras. Harapan yang selama ini dia bangun pupus begitu saja. Dadanya terasa begitu sesak sampai-sampai napasnya jadi tidak beraturan.

“Ehm … jadi kamu sudah bertunangan, ya. Selamat ya kalau begitu!” ucap Indra gelagapan dengan bibir yang bergetar. Suasana di antara mereka mendadak berubah menjadi canggung. Setelah momen itu, mereka tidak saling berbicara satu sama lain. 

Acara wisata yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi tragedi buat Indra. Dia kelihatan murung di sepanjang perjalanan pulang. Karena Indra hanya diam saja, Pak Subroto sempat mengira bahwa Indra sedang kerasukan.

Indra merasa sangat menyesal karena dia terlambat mengungkapkan perasaannya. Andai dia bergerak lebih cepat, dia kemungkinan masih bisa menggapai hati Bu Citra. Sayangnya, penyesalan hanya tinggal penyesalan. Semua sudah terjadi.

Begini Rasanya Jadi Pak GuruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang