“Waktu mengerjakan soal 90 menit, anak-anak. Silahkan dibaca baik soalnya sebelum kalian menjawab! Jangan lupa membaca doa semoga diberikan kemudahan oleh Tuhan!” ucap Indra sembari membagikan lembaran soal ujian semester kepada anak-anak.
Tidak seperti hari-hari normal, suasana kelas hari ini sangat tenang. Anak-anak yang biasanya super aktif terlihat serius. Ada yang memasang wajah tegang, contohnya si Fajar yang dari tadi menoleh ke sana kemari karena gugup.
Dalam hal kemampuan akademik, Fajar memang masih kurang jika dibandingkan teman-temannya. Indra seringkali memergoki Fajar mencontek PR teman-temannya. Saat ditanya, Fajar seringkali beralasan bahwa dia lupa kalau ada PR.
“Anak-anak, tidak boleh mencontek, ya! Kerjakan semampu kalian! Nggak apa-apa kalau nilai kalian buruk. Yang paling penting kalian mengutamakan kejujuran,” Indra mengingatkan mereka dengan tegas.
Seusai membagikan soal tersebut, Indra kembali duduk di meja guru sembari tetap mengawasi mereka. Sejujurnya, dia merasa sangat bosan karena dia hanya bisa diam dan menunggu sampai waktu ujian berakhir.
Indra bisa saja membuka ponselnya untuk membunuh waktu. Toh, anak-anak juga tidak begitu peduli. Mereka mungkin malah senang karena mereka bisa punya celah untuk mencotek atau sekadar bertanya ke teman sebelahnya. Namun, Indra merasa bahwa tindakan tersebut kurang profesional sebagai pengawas ujian.
Ketika duduk diam seperti itu, imajina Indra seringkali berpergian ke mana-mana, seperti memikirkan hutang atau cicilan mobil yang belum lunas. Usut punya usut, mobil pick up yang digunakan Indra berjualan ternyata masih kredit, lebih tepatnya kredit ke ayahnya.
Pada awalnya, Indra berpikir bahwa ayahnya memberikan mobil tersebut secara cuma-cuma. Namun, ayahnya berubah pikiran setelah dia melihat omset penjualan nasi goreng Indra. Dia pun membuat kesepakatan baru dengan Indra.
Ayahnya membeli mobil tersebut secara kredit. Dia telah memberikan DP sebesar 20%. Sisa cicilan mobil itu kemudian dibebankan kepada Indra karena dia berpikir bahwa Indra mampu melunasinya. Indra setuju-setuju aja karena mobil itu nantinya akan menjadi miliknya.
“Pak, soal nomor lima belas kok tidak ada jawaban yang benar?” Rosyid tiba-tiba bertanya sembari mengangkat tangan.
Lamunan Indra jadi buyar saat ditanya seperti itu. Dia sedikit terkejut karena soal-soal ujian itu telah dicek berkali-kali sebelum diujikan. Indra menghampiri Rosyid sembari melihat dengan seksama soal yang dimaksud, tepatnya soal Matematika.
Aslinya, jawaban yang benar adalah pilihan B. Akan tetapi, ada kesalahan pengetikan sehingga angka yang muncul di situ keliru. Untungnya, bukan Indra yang bertanggung jawab untuk mengetik soal-soal ujian itu.
“Perhatikan, anak-anak! Soal nomor lima belas dilingkari saja! Itu bonus buat kalian,” ucap Indra dengan suara yang keras. Anak-anak menurut saja dengan perkataan indra, apalagi si Fajar yang terlihat gembira karena beban berpikirnya jadi berkurang satu soal.
Insiden soal tanpa jawaban itu sempat membuat kelas menjadi berisik. Hal itu untungnya berlangsung selama beberapa detik saja. Mereka kembali tenang dan fokus mengerjakan soal yang ada di hadapan mereka.
Kali ini, Indra malas hanya duduk-duduk saja. Dia memutuskan untuk berkeliling dari satu bangku ke bangku yang lain sembari mengamati perkembangan mereka dalam mengerjakan soal. Rata-rata, anak-anak telah menjawab sebagian besar soal-soal tersebut.
Tanpa terasa, waktu ujian tinggal sepuluh menit lagi. “Masih ada sisa waktu, anak-anak! Silahkan dicek kembali jawaban kalian sebelum nanti dikumpulkan!” Indra memberikan peringatan kepada mereka.
Pengeras suara yang ada di sudut ruangan telah mengumumkan bahwa waktu ujian berakhir. Anak-anak bergantian maju ke depan untuk menyerahkan lembar ujian mereka. Mereka yang tadi memasang wajah tegang kini terlihat jauh lebih rileks.
“Baiklah, anak-anak! Besok masih ada ujian. Jadi, kalian masih harus belajar yang rajin. Waktu bermainnya tolong dikurangi, ya!” Indra berpesan sekali lagi kepada murid-muridnya sebelum dia pergi meninggalkan ruang kelas tersebut.
***
Suasana halaman sekolah terlihat sangat ramai. Murid-murid cowok kelas 5 dan 6 tengah asik bermain sepak bola. Murid-murid lain sibuk menonton di depan teras sembari memberikan sorakan kepada mereka.
Ekspresi lega tergambar jelas di wajah mereka karena minggu-minggu ujian telah berakhir. Itu artinya mereka tidak perlu pusing-pusing memikirkan pelajaran lagi. Mereka bisa bermain bebas sembari menunggu hari libur tiba.
Pada saat yang bersamaan, Indra beserta guru-guru masih sibuk mengecek serta merekap nilai para murid di rapot. Selain itu, mereka harus menyusun evaluasi belajar para murid untuk disampaikan ke orang tua mereka dalam pertempuan wali murid nanti.
Suasana ruang guru yang tadinya tenang mendadak pecah ketika ada suara teriakan heboh murid-murid dari arah halaman. Indra disusul guru-guru yang lain langsung berjalan keluar untuk mengecek sumber masalah tersebut.
Terjadi perkelahian yang melibatkan murid kelas 6. Permasalahan itu berawal saat mereka saling mengejek satu sama lain. Perlahan, situasi di antara semakin memanas sehingga emosi mereka jadi naik.
Tidak ada satupun yang berani melerai mereka karena mereka berdua memang terkenal nakal, apalagi mereka punya badan yang besar. Mereka terlihat saling sikut-sikutan seperti pemain gulat yang lagi beraksi di atas ring.
“HEI! BERHENTI!” Indra berteriak kencang sembari berlari dengan kecepatan penuh. Kurang dari lima detik, dia berhasil sampai ke tempat mereka.
Indra berusaha menengahi serta melerai perkelahian mereka. Namun, keduanya sama-sama keras kepala. Mereka tidak ada yang mau mengalah. Malah, mereka semakin menjadi-jadi dan memberontak dengan keras.
“DIA YANG SALAH, PAK”
“BUKAN SAYA. DIA YANG CARI MASALAH DULUAN.”
Kedua tangan mereka masih mengepal dan berusaha untuk menyerang satu sama lain. Indra masih berusaha melerai mereka. Namun, salah satu pukulan mereka tanpa sengaja mengenai kemaluan Indra.
“AAAAAHHHHHHHHHHH!” Seluruh sistem saraf Indra sedang bergelora. Rasa sakit pasca otong-nya ditendang menjalar di seluruh tubuh Indra. Ekspresi wajahnya terlihat meronta-ronta sembari meminta pertolongan.
Aneh bin ajaib. Perkelahian murid-murid itu langsung berhenti secara otomatis karena fokus mereka jadi teralihkan kepada Indra. Mereka kelihatan menyesal karena mereka telah berbuat buruk kepada guru mereka.
Pada saat yang bersamaan, Pak Satpam berlari menghampiri Indra. Kebetulan, dia tadi sedang tidak berjaga di gerbang sehingga dia tidak tahu kalau ada masalah di sekolah. Dia langsung membopong Indra ke UKS untuk dirawat.
“Kalian … berdua … nanti … ke ruang guru,” ucap Indra dengan kalimat yang terbata-bata. Jika kondisinya sudah membaik, dia ingin memberikan ceramah panjang lebar kepada dua anak itu.
Insiden penendangan otong Indra merupakan sebuah tragedi kocak yang memprihatinkan sekaligus mengundang tawa. Yang jelas, hari ini menjadi momen bersejarah yang tidak akan pernah bisa Indra lupakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Begini Rasanya Jadi Pak Guru
General FictionSetelah menganggur selama beberapa bulan, Indra akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru di sebuah SD. Kabar itu sangat membahagiakan karena dia memang ingin mendedikasikan dirinya untuk menjadi seorang pengajar. Selama mengajar di SD ter...