Butiran-butiran nasi berbalut bumbu serta campuran bahan terlihat menari-nari di atas wajan penggorengan. Proses memasak Indra akhir-akhir ini tampak beda. Indra jadi menggila sembari mengetuk-ngetuk wajan hingga membentuk sebuah irama.
Indra melakukan atraksi itu demi menghibur hatinya. Akhir-akhir ini, tingkahnya memang seperti anak kecil yang suka bermain-main. Bahkan, alur pikirannya pun jadi semakin sulit ditebak. Dia bisa melompat-lompat kegirangan atau terdaim seperti orang yang lagi bertapa.
Ketika orang-orang terdekatnya bertanya tentang kewarasannya, Indra dengan entengnya menjawab kalau dia masih “empat sehat lima sempurna” alias masih sehat wal afiat. Sesekali, dia juga suka pergi ke masjid lebih awal untuk adzan.
Indra merasa bahwa tindakan itu jauh lebih baik daripada mengunci diri di dalam kamar. Dia menyimpan ketakutan terhadap iblis yang selalu mencari kesempatan untuk membuatnya lengah dan berpaling dari Tuhan.
“Dua nasi goreng Thailand siap diantar,” ucap Indra ke arah Yono. Pria cungkring itu langsung bergerak cepat menuju ke arah bosnya.
“Lo kelihatan bahagia banget hari ini, Ndra. Mirip orang yang habis nyimeng aja lo,” Yono menyeletuk ringan lantas tertawa.
“Sialan lo, Yon! Gue gak pernah menyentuh barang haram itu. Lagian, gue nggak perlu nyimeng buat bisa bahagia,” sahut Indra sambil bersiul-siul lalu menyenandungkan sepenggal lirik lagu reggae karya Bob Marley.
“No Woman No Cry.”
Meskipun hati Indra saat ini sudah merasa lebih plong, alam semesta sepertinya masih belum bisa memperkenankan Indra untuk berbahagia. Indra baru saja mendapatkan telepon dari Bu Citra yang suaranya terdengar panik.
“Halo, Ndra! Kamu lagi ada di mana? Kamu cepetan ke sini sekarang juga!”
“Hah? Ke mana? Kamu ngomong yang jelas?”
“Ke rumah Renita,” ucap Bu Citra. Indra pada awalnya masih belum ngeh dengan panggilan itu. Baru, dia kemudian tersadar bahwa Renita adalah putri dari Valen. Ekspresi wajahnya yang tadi berseri-seri kini tampak seperti ikan teri kusut.
“EMANGNYA ADA APA LAGI?” jawab Indra dengan suara yang agak kesal. Dia tidak mau lagi berurusan dengan si Valen dan Dion karena dia berpikir bahwa mereka telah menjalani kehidupan yang bahagia.
“Suaminya Valen lagi ngamuk, tuh! Aku nggak berani ke sana sendirian,” balas Bu Citra lalu memberikan sebuah alamat yang lokasinya cukup jauh dari warung Indra saat ini.
“Oke. Kita ketemuan di sana aja. Tunggu aku!”
Indra barusan menjawab panggilan Bu Citra dengan asal-asalan. Dia lupa kalau dia hanya membawa sebuah pick up yang dia gunakan untuk jualan. Tidak mungkin dia membawa mobil itu sekarang karena mobilnya masih digunakan berjualan. Belum lagi nanti kejebak macet.
Setelah melalui proses berpikir cepat selama beberapa detik, Indra pun langsung mendapatkan solusi yang terbaik. Dia spontan meminjam motor salah satu pelanggan dan cabut begitu saja meninggalkan Yono.
“Yon, gue pergi dulu sebentar. Nanti gue balik lagi,” ucap Indra dengan entengnya. Yono pun terpaksa merangkap sebagai pelayan dan koki. Dia sudah belajar memasak nasi goreng sesuai dengan tutorial yang diajarkan oleh Indra.
***
Indra sampai di lokasi yang disebutkan Bu Citra kurang dari lima belas menit. Di sepanjang jalan, dia memacu motornya dengan kecepatan penuh. Dia juga melewati jalan-jalan pintas guna mempersingkat waktu. Jiwa pembalap Indra ternyata masih belum menghilang.
“Bagaimana keadaannya, Cit?”
“Aduh, Mas! Kamu lama banget. Aku sampai gemeteran, loh. Rumahnya dikunci. Jadi, aku gak berani masuk.”
“Kok kamu tahu?”
“Renita tadi yang bilang lewat telepon. Dari suaranya, dia kelihatan sangat ketakutan.”
Renita menjelaskan bahwa kedua orang tuanya sedang cekcok dan saling beradu mulut. Kata-kata mereka sangatlah kasar, apalagi ada indikasi kekerasan fisik yang mungkin saja terjadi. Gadis kecil itupun berinisiatif menelpon Bu Citra melalui ponsel milik ibunya.
Mendengar penjelasan singkat itu, Indra langsung bertindak cepat sebelum semuanya terlambat. Dia mendobrak pintu rumah tersebut dengan bersusah payah. Setelah melalui beberapa percobaan, pintu itupun akhirnya terbuka.
Indra lantas menyusuri ruangan rumah itu hingga dia mendengar suara perempuan yang sedang merintih kesakitan. Suara tersebut berasal dari arah dapur. Ketika Indra sampai di sana, dia melihat Dion tengah mencekik leher Valen.
“LEPASIN NGGAK? ATAU MAU GUE LAPORIN POLISI?” Indra berteriak kencang sembari mengancam.
“LO NGAPAIN KE SINI, BRENGSEK! JANGAN IKUT CAMPUR URUSAN RUMAH TANGGA ORANG! LO ITU TAMU TAK DIUNDANG!” Dion membalas dengan suara yang tidak kalah tinggi.
Dia kemudian melepaskan leher Valen lantas mengalihkan emosinya ke arah Indra. Tangannya meraih sebuah pisau dapur yang tergeletak di atas meja makan. Lalu, dia mengacungkan ujung pisau itu tepat ke arah Indra.
“LO MASIH INGAT HARI ITU, KAN? GUE NGGAK MENYANGKA LO MASIH HIDUP. LO SEHARUSNYA UDAH MATI. KALI INI, GUE JANJI BAKAL HABISIN LO!”
Tubuh Indra tiba-tiba gemetar usai melihat Dion membawa pisau. Momen itu membuatnya teringat kembali dengan trauma masa lalunya saat dia nyaris mati akibat kehabisan darah. Indra mencoba menguatkan dirinya dan yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi. Indra mencoba menangkis setiap serangan pisau dari Dion yang cepat. Pria itu sudah kehilangan akal sehatnya. Dia telah jatuh dalam jebakan iblis. Indra bisa merasakan hawa membunuh yang begitu kuat.
Ruang gerak Indra cukup terbatas karena mereka berkelahi di ruangan yang sempit. Indra mencoba mengarahkan Dion ke area yang lebih terbuka. Sembari menghindar, dia mencoba untuk memberikan perlawanan balik.
Jika Dion berpikir bahwa hari ini sama dengan hari itu, dia berarti salah besar. Indra sudah meningkatkan kemampuan bela dirinya secara konsisten. Dia pun tidak gampang terbawa emosi sehingga gerakannya masih teratur.
Setelah menemukan celah untuk menyerang, Indra langsung memukul tangan Dion dengan kekuatan penuh dan melepaskan pisau yang dia pegang. Lalu, dia mengunci total pergerakan pria itu sehingga dia tidak bisa lagi bergerak.
Tidak lama kemudian, Bu Citra menghampiri mereka berdua bersama dengan Pak RT, penjaga keamanan setempat, dan beberapa warga. Mereka langsung mengambil tindakan dan mengamankan Dion.
“Kamu nggak apa-apa, Mas?” tanya Bu Citra yang sedari tadi cemas ketakutan melihat pertempuran Indra melawan Dion.
“Tenang aja! Cuma lecet dikit,” jawab Indra sambil membersihkan sisa-sisa debu yang menempel di pakaiannya. Wajahnya tampak ngos-ngosan dan dipenuhi keringat. Selain itu, ada sedikit noda darah di bajunya karena tangan kanannya tadi sempat terkena sayatan pisau Dion.
Mereka berdua kemudian kembali ke dalam rumah untuk memastikan keadaan Valen dan Renita. Kondisi mental keduanya masih terguncang dan susah diajak berbicara, apalagi Valen yang baru saja mengalami kekerasan fisik dalam rumah tangganya.
Malam ini, Bu Citra memutuskan untuk menginap di sana agar dia bisa menjaga Valen dan putrinya. Indra pengennya pun ikut menginap kalau bisa, tapi dia enggak enak sama warga. Lagipula, dia masih harus mengembalikan motor yang dia pinjam dari pelanggannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Begini Rasanya Jadi Pak Guru
General FictionSetelah menganggur selama beberapa bulan, Indra akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru di sebuah SD. Kabar itu sangat membahagiakan karena dia memang ingin mendedikasikan dirinya untuk menjadi seorang pengajar. Selama mengajar di SD ter...